Oleh: Eneng Susanti
SABTU, 27 April 2013, di sebuah akhir pekan yang menyenangkan…
Keluar dari gedung perpustakaan daerah, saya langsung menyetop angkot menuju lokasi tempat tahsin. Jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk menjangkau tempat tujuan. Namun, saya tertahan di dalam angkot karena ‘sebuah perdebatan’ antar sopir angkot di sebuah pasar. Pukul 15.30 saya masih mendekam di dalam angkot tersebut.
Karena adzan ashar sudah berkumandang, maka saya putuskan untuk singgah dulu ke mushola dekat rumah salah seorang teman kerja saya. Lokasinya pun tidak jauh dari gedung tempat tahsin. saya niatkan usai sholat nanti untuk berkunjung sebentar ke rumah teman saya itu. Sebab, dia sudah resign dari tempat kerja dan beberapa hari lagi akan kembali ke kampung halamannya di Jogya sana. So, saya ingin bersilaturahmi selagi masih sempat.
Hanya beberapa meter sebelum saya memasuki mushola, saya melihat seorang pria mendahului langkah saya.
“Berarti saya tidak akan sendirian di mushola itu,” batin saya.
Sebenarnya agak ngeri dan tidak nyaman juga jika kata ‘tidak sendiri’ itu berarti bersama laki-laki. Tapi, ya, mau bagaimana lagi…bukan satu dua kali saya menumpang sholat di mushola yang juga berfungsi sebagai majlis ta’lim di kampung itu. Dan, begitulah…seperti masjid-masjid pada umumnya, mushola itupun hampir selalu sepi pengunjung. Jika ada satu orang saja yang sholat di sana, sepertinya itu sudah merupakan ‘sesuatu’ sekali ya. So, ‘kengerian’ di otak saya pun terkikis oleh sebuah kelegaan bahwa masih ada orang yang mau menghidupkan musholla ini.
BACA JUGA: Aa Ganteng di Tukang Kupat Tahu
Dia berwudhu dan memulai sholat lebih dulu dari pada saya. Ketika saya akan berwudhu, seorang anak kecil tiba tiba masuk ke area mushola itu.
“Mang kerang…mang kerang…” Teriak anak itu.
Saya pun teringat, sepintas lalu sebelum saya memasuki mushola ini, saya sempat melihat sebuah gerobak penjual kerang rebus terparkir di samping mushola.
Siapa laki-itu, ya? (tolong jangan bilang saya kepo). Yang jelas saya kagum padanya. Saya tegaskan sekali lagi, saya kagum. BUKAN naksir. Saya rasa saya tidak perlu teriak keras keras atau menyanyikan lagu Shanty yang judulnya ‘Hanya Memuji’ cuma untuk menegaskan hal tersebut di atas. Ok.
Sekarang, akan saya jelaskan sebab kekaguman saya itu. Siapa laki laki itu? Dia adalah seorang pedagang keliling. Penjual kerang rebus.
Kenapa saya kagum? Karena dia ‘orang kecil’. Di hari gini jangankan ‘orang besar’, ‘orang kecil’ saja sudah banyak yang jauh dari tuhannya.
Lihat saja kebanyakan pedagang kelililng atau tukang-tukang apalah yang bekerja dengan mendorong gerobak, entah itu tukang bakso, tukan gorengan, tukang somay atau apalah. Kebanyakan dari mereka biasanya adalah orang tua. Tapi pergeseran masa mengisahkan cerita yang berbeda di jaman sekarang. Banyak pula di antara mereka yang msih muda bahkan remaja, Mungkin anak anak juga, yang sekarang sering kita lihat di pinggir pinggir jalan, menjajakan dagangannya.
Dari segi ‘enterpreneurship’ ini mungkin bersifat baik. Tapi ada sesuatu yang yang kurang ‘ok’ di sini. Sebagian besar dari pemuda yang jadi pedagang itu putus sekolah. Berpendidikan rendah dan cenderung tidak punya minat yang tinggi untuk belajar.
Saya adalah kuli, maka kehidupan saya pun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan mereka. Hanya saja, yang sangat saya sayangkan, mereka yang hidup di jalanan kurang kenyang akan pendidikan dan pemahaman yang dalam tentang agamanya. Yang saya saksikan, banyak diantara penjaja makanan di belakang gerobak-gerobak itu adalah pemuda tanggung, yang notabene sedang dalam proses pencarian jati diri. Merekapun terjebak oleh sebuah gaya hidup yang di sebut ‘gaul’. Yaitu sebuah pemikiran atau cara pandang yang keliru tentang arti sebuah kata ‘keren’ dalam kaca mata seorang remaja.
Bagi mereka keren itu berkutat seputar ‘punya pacar’, ‘punya handphone’, punya ‘motor’, ‘fanatik terhadap sebuah band’, dan hal hal nggak penting lainnya. Memang definisi ‘keren’ semacam ini berlaku bukan hanya bagi para ‘pengusaha muda’ tersebut saja, melainkan juga bagi para pemuda pada umumnya. Namun, hal ini tetap tidak bisa dibilang biasa. Akan fatal sekali jadinya jika seseorang berusaha/bekerja hanya untuk mengejar duniawi saja, apalagi cuma untuk sekedar mengisi perut dan melampiaskan nafsu (keinginan keinginan semu yang dikatakan ‘keren’ oleh pemikiran mereka itu).
maka, saya kagum, ketika ada salah seorang ‘pengusaha muda’ yang masih mengingat tuhannya di sela aktifitas kerjanya; di waktu waktu orang lain sibuk dengan gaya hidup, fashion, pacar, gadget atau blablabala yang lainnya; diantara sempitnya waktu dan sesaknya nafas yang tercekik kebutuhan hidup; di tengah lelah yang mendera sekujur tubuh; dan tentu saja, di ‘hari gini’.
BACA JUGA: Rezekimu Sudah Ditanggung
Saya rasa orang itu pantas mendapat pujian. Sebagai orang kecil, ia masih mampu mengingat kebesaran tuhannya, bahkan ketika beraktivitas untuk menutupi kebutuhan hidupnya.
Sewaktu anak kecil yang akan membeli kerang rebus itu memanggilnya, saya tahu, laki laki itu mungkin baru saja mengumandangkan takbir. Ia bias saja membatalkan sholatnya. Tapi tidak. Dia tetap menyelesaikan sholatnya, bahkan dengan sangat tenang dan tuma’ninah. Jika saya tidak salah mengira, orang itu pastilah mengerjakan sholat sunat rowatib juga. Karena sholatnya lumayan lama.
Melihat pedagang kerang rebus yang dicarinya ternyata sedang sholat, anak itupun akhirnya menunggu. Lalu, datang dua orang anak lainnya mencari anak tersebut. Sekilas saya sempat mendengar perbincangan mereka.
Anak yang baru datang itu berkata pada temannya, “Ari kamu teh tidak sholat?”
“Hayu atuh kita sholat!”
Maka, merekapun sholat dibelakang tukang kerang tadi.
Masya Allah, saya sungguh terharu melihat kejadian itu.
Semoga setiap orang yang mencari nafkah, selalu mengingat tuhannya. Karena pasti tuhannya pun akan ingat padanya. Meskipun sedang sholat, toh, rezeki si tukang kerang rebus itu tidak melayang begitu saja. Yang menjadi bagian rezekinya tetap akan jadi miliknya, meskipun ia menunda sejenak kegiatan usaha untuk mendirikan sholat.
Allah tidak akan pernah lupa memberikan jatah rezeki pada setiap hamba-Nya, apalagi kepada mereka yang selalu berikhtiar dan tetap melaksanakan perintah Nya. []