INI kisah nyata ya. Temen saya. Soal riba. Anaknya satu sekolahan dengan anak saya yang bungsu perempuan. Sewaktu tingkat TK, satu kelas. Sekarang, walau masih satu sekolahan, misah.
Jadi (dulunya) si temen saya ini kepala cabang satu bank di luar kota. Kepala cabang gitu lho. Duit melimpah sana-sini. Istrinya, admin senior di satu leasing nasional yang udah terkenal juga. Kebayang, ga ada istilahnya keluarga ini kurang duit.
Saat anak laki-laki pertama mereka udah usia belajar di sekolah, keduanya sibuk nyari-nyari sekolahan yang sesuai dengan mereka (inget ya, sekolahan itu bukan soal bagus atau nggaknya, tapi ya orangtua cocok ga sama sekolahan itu, ideal ga dengan visi misi mereka). Cari sana-sini, sampelah di sekolahan “K” di kota kami.
Ketika datang dan wawancara dengan kepala sekolah, ada satu pertanyaan yang membuat pasangan suami istri terdiam ga bisa jawab; kepala sekolah: “Apa pekerjaan Bapak berhubungan dengan riba?”
BACA JUGA:Â Kerjaan Banyak? Ga Mau Sakit?
Sang bapak mingkem. Ibu juga.
Kepala sekolah, tentu aja ga tau banyak soal bekgron kerjaan orang yang baru datang ke sekolahan. Sama semua ortu yang datang pertama kali, saat wawancara, kepsek (masih muda, tenang, baik dan rendah hati, ga sombong dan rajin menabung… eh), selalu menanyakan pertanyaan itu (termasuk juga saya ditanya soal kerjaan riba apa nggak ketika bawa anak kedua ke sekolahan itu). Balik lagi ke ortu itu.
Kepsek kemudian menerangkan ga panjang dan ga kali lebar soal kenapa kalau ortu kerja di tempat riba kek gitu jadi ngaruh besar saat anaknya belajar di sekolahannya. Setelah itu kepsek ga banyak bicara.
Kedua ortu balik. Ga tau mau gimana. Mereka tapi yakin banget, anaknya musti masuk sekolahan itu. Jadilah disekolahin. Risikonya, keduanya berenti kerja. Berenti dari riba. Apa yang terjadi? Tepat berenti dari tempat kerjanya masing-masing, keduanya dapat tawaran kerja di tempat kerja yang sama pula jenisnya, cuma sekarang dalam kota. Dengan tawaran gaji yang jauuuuh lebih besar atuhlah.
Bimbang? Ternyata ga juga. Ditolak itu tawaran kerja dua-duanya. Masa iya, keluar dari satu riba, masuk ke riba yang lain.
Hari itu, di jalan tol, saat menepi di rest area, ketika mobil lagi berenti, kendaraan lain dari belakang nubruk. Brug! Mobilnya bonyok dong. Tapi, mereka sekeluarga selamat. Sang istri tak henti bersyukur. Kejadian terjadi dalam satu waktu. Entah, apa ada hubungannya satu sama lain. Mereka ga bisa jawab.
Setelah berenti kerja resmi dari tempat-tempat itu, mereka usaha katering dan jualan baju anak-anak. “Pokoknya, saya lepas dari riba, stad,” ujarnya pada saya suatu kali. Kalau sekolah kami lagi ada acara, suami istri handel semua kebutuhan konsumsi, mulai dari anak, guru, dan ortu. Haru!
Usaha mereka jatuh bangun. Katering bubar jalan karena pandemi. Baju anak ga tentu. Alhamdulillah, mereka masih punya usaha kost-kostan. Allah masih jaga mereka.
BACA JUGA:Â Â Jodoh
Banyak yang sepertinya bertanya-tanya, mengapa kehidupan keluarga ini jadi begini (baca; nyimpen rasa kasihan gitu lho). Tapi, ga banyak yang tau, they are really happy. Jauh dari riba. Hidup mulai dari nol lagi. Tapi itna (tenang).
Istri para kaum salaf, terbiasa mengatakan kepada suaminya, “Kami ridho engkau bawakan rezeki yang sedikit, namun mendekatkan diri kami kepada Allah SWT …”
https://www.youtube.com/watch?v=unV56bWk_ug&t=1s
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah 216)
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Q.S Al-Insyirah 6-7) []