SAHABAT Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa kondisi susah (miskin atau sakit) lebih baik bagi seorang hamba daripada kondisi senang (kaya dan sehat)
Imam adz-Dzahabi dan Ibnu Katsir menukil dalam biografi sahabat yang mulia dan cucu kesayangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah disampaikan kepada beliau tentang ucapan sahabat Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu.
“Kemiskinan lebih aku sukai daripada kekayaan dan (kondisi) sakit lebih aku sukai daripada (kondisi) sehat.”
Maka al-Hasan bin Ali berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar, adapun yang aku katakan adalah, ‘Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya, maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang telah Allah pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) segala ketentuan takdir (Allah) dalam semua keadaan (yang Allah) berlakukan (bagi hamba-Nya).’”
Karena biasanya seorang hamba lebih mudah bersabar menghadapi kesusahan daripada bersabar untuk tidak melanggar perintah Allah dalam keadaan senang dan lapang, sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah,
“Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian, adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (diijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga akibatnya dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka,” (HR. Al-Bukhari no.2988 dan Muslim no.2961).
Al-Hasan bin ‘Ali mengomentari ucapan Abu Dzar di atas dengan pemahaman agama yang lebih tinggi dan merupakan konsekuensi suatu kedudukan yang sangat agung dalam Islam. Yaitu ridha kepada Allah sebagai Rabb (Pencipta, Pengatur, Pelindung, dan Penguasa bagi alam semesta), yang berarti ridha juga kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan takdir dan pilihan-Nya, serta kepada apa saja yang diberikan dan yang tidak diberikan oleh-Nya. (Kitab Fiqhul Asma’il Husna hal.81).
Sikap ini merupakan ciri utama orang yang akan meraih manisnya dan sempurnanya iman, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan (manisnya) iman, orang yang ridha dengan Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai Rabb-Nya dan Islam sebagai agamanya serta (Nabi) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya,” (H.R Muslim no.34).
Bersandar dan berserah diri kepada Allah adalah sebaik-baik usaha untuk mendapatkan kebaikan dan kecukupan dari-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala sendiri telah menjanjikan hal ini dalam QS. Ath-Thalaq ayat 3 bahwa Allah akan mencukupi orang yang senantiasa bertawakal kepada-Nya. Semoga kita senantiasa bersyukur dan ridha atas apa yang telah Allah tetapkan. []
Sumber: Al-Mawaddah Vol.72 Jumadal Ula 1435 H. Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma’had al-Furqon al-Islami oleh muslimah