“Saya mau menikah!”
Sering kita berkata seperti ini, tetapi hati berat melangkah.
“Tolong carikan saya calon!”
Sering pula minta dicarikan calon pasangan, tetapi begitu disodori tak ada langkah pasti.
Mengapa?
Karena hati masih ragu, masih belum yakin. Belum jujur pada Allah. Biarpun lisan sering mengatakan “mau menikah”, tetapi hati tak bisa dibohongi. Kabut ragu masih tebal menyelimuti.
Bila sungguh-sungguh ingin menikah, pasti memantapkan niat dan menyempurnakan ikhtiar. Jujur pada Allah dengan menyelaraskan hati dan lisan.
Ungkapan, “Saya ingin menikah”, bukan sekadar manis di bibir, melainkan juga menjadi niat suci untuk segera menggenapkan separuh din ini.
Sejenak kita seksamai kisah seorang Arab Badui yang turut perang bersama Rasulullah Saw.
Sebagian riwayat menyatakan bahwa perang yang dimaksud adalah Perang Khaibar. Allah Swt memberikan karunia kemenangan dalam perang ini. Kaum Muslimin bersyukur bisa mengalahkan musuh dan memperoleh ghanimah (harta rampasan perang) lumayan banyak.
Satu per satu kaum Muslimin menerima ghanimah itu sesuai bagiannya masing-masing. Dengan syukur dan senang hati mereka menerima anugerah tersebut.
Tibalah giliran Sang Badui menerima haknya, tetapi dengan heran ia justru bertanya, “Apa ini?”
Rasulullah Saw menjawab, “Ghanimah yang menjadi hakmu.”
Badui, “Demi Allah! Bukan untuk ini aku berperang bersama engkau. Aku turut serta perang bersamamu agar terkena anak panah di sini (ia menunjuk tenggorokannya). Lalu aku mendapat janji surga-Nya.”
Usai sahabat Badui tersebut beranjak pergi, melalui lisannya yang agung, mulia, dan tak pernah berdusta Rasulullah bersabda, “Bila ucapannya itu jujur, Allah akan mewujudkan niatnya.”
Pada perang berikutnya, sahabat Badui ini turut serta dalam barisan kaum Muslimin. Ia turut memperkuat pasukan dalam kecamuk perang yang dahsyat.
Jujur pada Allah itu benar. Ucapan yang jujur dalam hati akan membuahkan hasil sebagaimana niat awalnya.
Saat perang dahsyat itu usai, sahabat Badui ini ditemukan dalam kondisi sebatang anak panah menancap tepat di lehernya.
Shadaqallah wa shadaqa Rasulullah.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah ini?
Sungguh, ketika jujur kepada Allah atas niat dan rencana kita, Allah Mahakuasa untuk mewujudkannya. Ucapan jujur dari hati yang diikrarkan penuh keyakinan menjadi doa yang menakjubkan. Allah Maha Menolong, Mahabijaksana, juga Maha Mengabulkan doa.
“Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan-(nya)?” (Q.s. Huud [11]: 51)
Niat yang tulus, lisan yang jujur, dan keyakinan yang kuat menjadi bagian penting dari sebuah cita-cita.
Dengan bekal ini, puzle-puzle harapan tersusun satu demi satu menjadi kesatuan yang utuh, rapi, dan tertata. Pada gilirannya, harapan itu terwujud dalam sebuah kenyataan yang indah.
Demikian pula dengan pernikahan. Bila selama ini kita rindu menikah, tetapi hati masih diselimuti keraguan untuk melangkah ke pelaminan, maka jujur kepada Allah atas niat dan harapan menjadi bagian yang mesti dimantapkan.
Bila kematian bisa direncanakan, apalagi kehidupan. Bila syahid di medan jihad bisa diharapkan, apalagi pernikahan. Tentu lebih bisa direncanakan.
Bila ucap seirama
Satu nada dengan jiwa
Keyakinan lagunya
Kejujuran syairnya
Moga Allah mendengarnya
Mengabulkan harapnya
Engkau yang sedang dirundung ragu, jujurlah pada Allah atas niat dan harapanmu melangkah ke pelaminan. Bila engkau jujur, yakinlah akan pertolongan-Nya, insya Allah ada jalan keluarnya. Allahumma amin. []