SUARA gedebak-gedebuk itu terdengar lagi. Lebih keras dan hingar. Semua penghuni gerbong, segera saja terdiam dan menarik nafas tertahan. DUAK! DUAK!, kemudian terdengar teriakan yang tak kalah mengerikannya bagi yang mendengarnya, “Bangun! Lo kira makan bakalan diturunin dari langit? Orang-orang lain udah pada ke jalan, lo masih ngeringkuk aja. Bangun!!!”
Semua orang masih terdiam. Bahkan sekarang sepertinya bernafaspun tak ingin mereka lakukan. Padahal mereka berada dalam ruangan gerbong kereta yang terpisah. Di gerbong sebelah, seorang anak kecil, lusuh, dan tak berdaya, di mulutnya darah mengalir dan ia hampir berbusa, terkapar, berusaha untuk bangkit. “Maafin, Bang. Aye semalam baru tidur jam 3….” ujarnya terputus-putus.
Seorang laki-laki, hanya memakai celana jins belel saja, sementara kaosnya disampirkan di bahu kanannya, mendengus. “Lo kira itu urusan gue? Suruh siapa lo tidur jam segitu? Lagian darimana lo tau jam, kunyuk?” selesai berkata, ia mendekati tubuh si anak dan menendang dadanya, DUAK!
Yang ditendang, langsung saja terlempar lagi ke tanah. Kepalanya sedikit membentur dinding gerbong. Ia tidak mengaduh ataupun bersuara, tapi dari ekspresi wajahnya kentara ia menderita kesakitan yang amat sangat. Darah semakin meleleh dari mulutnya. Sakit dan perih. Kali ini ia berusaha bangkit lagi.
Laki-laki dewasa itu mendengus. Kesal. “Udah tiga hari ini lo setor kurang melulu. Entar sore lo musti lunasin utang lo…. Kalo nggak, lebih baik lo ikut sama si Badak noh ke Jatinegara…. Ngerti nggak lo, kunyuk buduk?!””
“Iye, iye Bang…” si anak tergagap.
Si laki-laki dewasa beranjak pergi menuju gerbong yang berada paling ujung. Ia tidak berkata-kata lagi, menyalakan rokok. Menghirupnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kuat. Asapnya membaur dengan matahari pukul 10.00 yang menyebar di wilayah Senen. Belum terlalu siang, tapi matahari menyengat begitu galak. Lebih enak untuk memejamkan mata, peduli apa Jakarta yang tengah sibuk?
***
“Kamu tidak apa-apa, Rio?”
Anak itu diam. Melap darah yang keluar dari mulut dan hidungnya dengan kaos bututnya. “Sakit… “ ujarnya lirih dan tertahan. Namun ia berusaha untuk tersenyum pada teman-temannya, yang juga sesama anak gelandangan.
Anis, Fajar, Rohmah dan Iwan merubung. “Kamu jangan ke jalan aja hari ini. Udah biar kami yang nyari setoran kamu….”
Rio menggeleng. “Bang Oni bakalan tau. Bakal lebih marah lagi dia entar….”
“Iya, tapi kamu kan sakit begitu. Belum makan juga kan?”
Rio menggeleng lagi. “Kalian punya makanan?”
Keempat orang temannya saling pandang sejenak. Dengan tatapan memelas, sedih dan menyesal, salah seorang dari mereka menggeleng. “Kami juga belum makan dari semalam tadi…”
Mereka terdiam. Agak lama.
Rio bangkit dari duduknya. Kentara wajahnya benar-benar lebam, menghitam dan mengeras sekarang, “Yah, sekarang kita harus pergi. Kalau Bang Oni meliat kita ngobrol-ngobrol seperti ini, kita bakalan dipukul lagi. Kita sekarang ke daerah Pramuka ya?”
Semuanya tidak menyahut. Tapi mereka semua mengikuti Rio.
***
“BERAPA semuanya? Tiga puluh tiga ribu rupiah? Wah, kita bisa makan dulu lah…” Rio duduk di teras sebuah toko rental komputer. Haus sekali.
“Lumayan juga hari ini ya? Kemarin, sampe jam enam, kita cuma dapat lima belas ribuan aja tuh…” Rohmah berujar sambil ikutan duduk di samping Rio. “Mau makan kita?”
“Pangsit aja. Biar murah…”
Tanpa menunggu persetejuan dari semuanya, Fajar segera memesan pada tukang pangsit yang memang tak jauh dari tempat mereka duduk.
Rio menerawang. Matanya menyipit memperhatikan senja yang mulai turun. Sinar matahari yang makin turun sedikit menerobos celah-celah gedung-gedung tinggi Jakarta. 30 ribu terlalu banyak kalau harus diberikan semua kepada Bang Oni.
Ketika mengunyah pangsitnya, Rio berkata pada Rohmah, “Aku pinjam duit dulu yah sebagian?”
Rohmah menghentikan makannya. “Buat apa?”
“Sepuluh ribu saja,….” Rio malah tidak menjawab pertanyaan Rohmah.
“Sepuluh ribu? Banyak banget. Entar kalo ketauan sama Bang Oni, kamu…..”
“Nggak. Asal kalian jangan bilang-bilang aja sama dia. Lagian itu juga buat beliin sesuatu buat dia kok…..”
Rohmah mengernyit, “Sesuatu? Buat Bang Oni?”
Rio terdiam sejenak, kemudian mencoba tersenyum, sedikit kecut, “Yah, sekali-kali kan nggak apa-apa?”
Rohmah terdiam. Ia menatap anak-anak lainnya. Anis, Fajar, dan Iwan yang lebih muda dari ia dan Rio tampak masih asyik dengan pangsitnya mereka yang sekarang hampir habis.
Rio tersenyum lagi, “Pokoknya aku yang tanggung deh ya….”
Rio perlahan mendekati Bang Oni yang tengah main catur bersama temannya. Ia menyodorkan bungkusan yang berisi uang.
Bang Oni mendehem, “Berapa semuanya?” tanyanya tanpa menoleh.
“Mmmm, tiga puluh rebu, Bang…”
Bang Oni menghentikan main caturnya sejenak. Ia melirik ke arah Rio. “Tiga puluh ribu? Banyak juga lo….”
Rio mengangguk. “Ini, Bang…..” Ia menyodorkan sebuah plastik yang berisi cairan merah.
“Apaan tuh?” Bang Oni mengernyit.
“Eh,… ini, ini….. ini…. Fanta, Bang….. Buat Abang. Tadi aye beliin di depan. Ngghh….”
Bang Oni mengangguk-anggukan kepalanya. “Baik banget lo….”
Rio menghela nafas, “Kalo Abang nggak mau, nggak apa-apa…. Kok…”
Bang Oni sekarang sama sekali berhenti main catur. Tampaknya ia memang menguasai permainan itu. Lawannya tampak berpikir keras. Bang Oni berdiri dari duduknya. Ia memandangi Rio tajam. Rio jadi salah tingkah. Bercampur sedikit takut.
Bang Oni mengabil plastik di bungkus Rio. “Hmm, Fanta ya?”
Rio mengangguk. Pelan, dan sedikit gemetar.
“Baik banget lo. Tapi begini……”
Rio melirik sejenak ke arah muka Bang Oni.
“Lo minum ini!” ujar Bang Oni keras.
Rio tersentak.
“Kenapa?” hardik Bang Oni.
Rio mundur perlahan-lahan. Bang Oni mengikutinya. Dengan tangan kasarnya, ia mencengkeram leher Rio. “Kalo lo nggak mau, gue yang minumin ini ke mulut lo….”
Rio gelagapan. Ia gemetar dan panik, “Bang….”
Bang Oni tidak berkata-kata lagi. Dengan sekejap, ia segera saja memasukan semua cairan merah berada dalam plastik yang ada di tangannya. Rio berontak.
“Hmmphhh….. Bang… Bang….. ampun, Bang……”
Setelah semua cairan itu masuk ke dalam mulut Rio, Bang Oni menghempaskan tubuh Rio dengan keras hingga membentur dinding gerbong di belakangnya. Bang Oni menatap lurus.
Di tanah, Rio menggelepar-gelepar. Tubuhnya mengejang. Dari mulutnya sekarang keluar buih-buih busa. Ia mengeram-geram. Ketika itu, Bang Oni melayangkan kaki kanannya tepat mengenai dada Rio. Tubuh Rio langsung terlempat lagi. Mengejang-ngejang tidak karuan.
Lima menit kemudian, tubuh Rio kaku. Mamtanya membeliak, dari mulutnya terus-menerus keluar busa yang berbuih-buih. Ia sudah tidak bernafas.
“Dasar,” desis Bang Oni, “bikin kerjaan aja. Lo pikir gue nggak tau Fanta itu udah dicampur Baygon? Mampus deh lo ke neraka…..” []
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara,” UUD 1945 pasal 34 ayat (1).