SIANG itu, di sebuah taman kanak-kanak. Ibu guru meminta anak-anak untuk menggambar bebas. Ada yang menggambar pemandangan. Ada gunung dan ada sawah. Ada sungai dan ada pantai. Da hutan dan ada taman. Ada yang menggambar suasana. Ayah dan ibu bergandengan tangan dengan kedua anaknya. Bibi berbelanja ke pasar dengan sepeda. Nenek menyulam dan kakek membaca koran. Dan beberapa gambar lain, yang ‘biasa-biasa’ saja.
Seorang anak laki-laki di kelas itu agak lain. Dia penuhi kertas gambarnya yang berukuran A3 dengan sapuan crayon berwarna hitam. Hanya hitam. Hitam seluruhnya, sepenuhnya. Gurunya tercenung. Tapi bu guru tak sempat bertanya karena sebentar kemudian waktu pulang tiba. Sambil menepukkan tangan di depan dada bu guru berkata, “Gambarnya di selesaikan di rumah ya ank-anak, minggu depan dikumpulkan.”
Tak dinanya, di rumahnya pun anak ini meneruskan keanehannya. Berlemar-lembar kertas ukuran A3 dipenuhinya dengan sapuan warna hitam hingga berkali-kali sang ibu harus ke toko alat tulis untuk membeli satu set crayon. Dan ia hanya menggunakan crayon berwarna hitam. Hari demi hari, setiap ada kesempatan dan waktu, anak ini selalu menambah karya gelapnya. Di rumah. Juga di sekolah. Tumpukkan kertas gambar yang telah dikerjakan membuat sang ayah geleng-geleng kepala. Sang ibu cemas. Dan mereka pun mengontak sekolah hingga menyepakati satu kata: psikiater! Anak mereka akan ditangani sekelompok psikiater anak kenamaan.
Para psikiater itu berhasil membujuk anak itu untuk melanjutkan gambar hitamnya di labolatorium pengamatan mereka. Dan si anak terus bekerja seperti kerasukan tanpa mempedulikan tempat dan waktu. Pengamatan para ahli selama berjam-jam tak menghasilkan diagnosis atau analisis apa pun. Sampai akhirnya si anak tersenyum dan berkata, “Aah..”. Dia telah menyelesaikan sejumlah 400 gambar di kertas A3 Dan ternyata, ada beberapa yang tak hitam seluruhnya.
Ia mulai memberi intruksi kepada para psikiater untuk menata ke-400 kertas itu di lantai. Oh, ternyata ini puzzle. Ukurannya 20×20 kertas A3. Dan hasilnya? Menakjubkan!! Gambar seekor anak ikan paus bongkok tetap sesuai ukuran hewan aslinya!!
Sang anak terkekeh bangga melihat hasil karyanya. Dan para psikiater kita tkajub geleng-geleng kepala. Tak seperti anak yang lain, anak ini ingin agar gambar anak ikan paus bongkoknya sesuai ukuran ‘aslinya’. Ia berpikir besar. Awalnya dia tidak dipahami, dianggap aneh, bahkan harus diserahkan pada para psikiater. Tapi akhirnya semua orang takjub padanya.
Mungkin begitulah risiko berpikir besar. Disalahpahami, lalu dikagumi. []
Sumber: Jalan Cinta Para Pejuang/Salim A. Fillah/Pro-u Media