RITUAL haji memiliki berakar pada sejarah para Nabi mulia dari zaman Ibrahim hingga zaman Muhammad SAW. Salah satu ritual haji bahkan bermula dari perjalanan seorang wanita mulia dalam kehidupan Nabi Ibrahim as. Yakni istrinya yang bernama Hajar.
Ritual haji menggambarkan perjuangan, pengorbanan, kepasrahan, dan kepatuhan seorang muslim. Ini terlihat dengan jelas dalam kisah Nabi Ibrahim dan Hajar, yang diriwayatkan dalam Sahih Al-Bukhari.
Nabi Ibrahim berangkat bersama istrinya Hajar dan putranya yang baru lahir ke sebuah perjalanan panjang. Mereka pun tiba di Mekkah.
BACA JUGA: 5 Fakta Ibadah Haji yang Jarang Diketahui
Hajar melihat sekelilingnya dan tidak bisa melihat apa-apa selain gurun tandus di segala arah. Tidak ada kehidupan. Kegersangan di tempat itu tak tertahankan.
Di kejauhan, daratan bertemu dengan langit tanpa ada gerakan yang memecah medan di mana pun. Pemandangan asing ini menjadi semakin asing di mata Hajar saat dia mengingat bahwa suaminya, Ibrahim akan meninggalkannya di sini, dan kembali ke tempat asalnya.
Hajar diliputi berbagai macam pikiran: Apa yang harus dia lakukan?
Bagaimana dia bisa bertahan di antara tebing-tebing tajam ini?
Bagaimana dia akan menanggung kegelapan malam yang tak tertembus?
Ini adalah kematian yang pasti. Suami mana yang akan meninggalkan istri dan anaknya mati di padang pasir?
BACA JUGA: Inilah Gambaran Mengagumkan Ibadah Haji 700 Tahun Lalu
Ketika dia menoleh ke suaminya, perilakunya sempurna. Tata kramanya sempurna dan wajahnya tenang. Namun demikian, tak urung ketakutan dan kekhawatiran menyergap setiap kali menyadari bahwa suaminya akan pergi dan dia akan ditinggalkan sendiri hanya bersama anaknya seorang.
Saatnya tiba ketika Ibrahim memutuskan untuk pergi. Hajar tidak akan mendurhakai suaminya, karena dia adalah seorang Nabi Allah dan ini adalah sesuatu yang dia tidak ragukan.
Dia bertanya, “Wahai Ibrahim! Ke mana Anda akan pergi, meninggalkan kami di lembah yang tandus dan kosong ini?”
Ibrahim tidak berbalik untuk menghadapinya, meskipun dia bertanya lagi dan lagi. Akhirnya, dia bertanya, “Apakah Allah memerintahkan Anda untuk melakukan ini?”
Ibrahim berkata, “Ya, Dia melakukannya.”
Kemudian hati Hajar pun menjadi tenang. Dia berkata: “Maka, Allah pasti tidak akan pernah mengabaikan kita.”
BACA JUGA: Pengorbanan Ibu, Gratis Sepanjang Masa
Kata-katanya begitu pasti, sehingga menambah keyakinan bahkan di hati Ibrahim untuk melaksanakan apa yang dia tahu pasti bahwa Allah telah memerintahkan dia untuk melakukannya.
Dalam hal ini, kita melihat bagaimana seorang wanita mampu menanggung kesulitan besar yang tidak dapat ditanggung oleh seorang pria, selama dia sangat percaya pada tugas yang dia lakukan bahwa itu diperintahkan Allah kepadanya. Ketika seorang wanita percaya pada tujuan yang mulia, dia mampu mengorbankan keselamatannya, stabilitasnya, dan bahkan seluruh hidupnya, mencita-citakan apa yang dia akui sebagai tujuan yang lebih besar yakni ketaatan kepada Allah.
Beginilah cara ibu kita Hajar bisa tetap tinggal di gurun tandus itu sampai air yang ada bersamanya habis tanpa putus asa dan tanpa menyerah pada keputusasaan. Dia juga tidak duduk dan menunggu nasibnya.
Meskipun Hajar menaruh kepercayaan sepenuhnya pada Allah, dia tidak berpuas diri. Dia secara aktif mencari air untuk dirinya dan bayinya, dan dia tidak membiarkan dirinya lelah di bawah terik matahari yang tak henti-hentinya.
BACA JUGA: Pelajaran Berharga dari Kisah Ibrahim dan Hajar
Dia mengamati lembah tempat dia berada. Tidak ada yang bisa diharapkan. Jadi dia menuju ke pegunungan terdekat. Mungkin dari puncaknya dia akan melihat beberapa tanda kehidupan. Dia pun naik ke puncak Gunung Safa dan melihat ke segala arah.
Tanpa putus asa bahkan untuk sesaat, dia turun ke lembah dan menuju gunung kecil di seberang lembah, Gunung Marwa. Mungkin ada sesuatu di sisi lain. Dia berjalan ke gunung lain.
Terkadang dia berjalan dengan tergesa-gesa. Ketika kelelahan menimpanya, dia akan melambat untuk sementara waktu. Dia terus berjalan, didorong oleh gagasan bahwa di belakang Gunung Marwa dia mungkin melihat beberapa tanda kehidupan. Dia naik ke puncak.
Dia terus mencari hingga dia melalui dua bukit itu sebanyak tujuh kali, berharap dia akan melihat beberapa penduduk atau karavan yang lewat. Dia terus berdoa kepada Allah dan memohon bantuan-Nya.
Setelah turun terakhirnya ke lembah dari puncak Gunung Safa, dia melihat ke tempat dia berteduh sebelumnya. Dengan lembut dia meletakkan anaknya, Ismail, di tanah. Lantas, air memancar dari bawah kakinya.
Ini adalah mukjizat yang Allah anugerahkan kepada Nabi Ismail ketika masih bayi sebagai.pertolongan kepada dua manusia pilihan yang tabah menghadapi cobaan itu. Pertolongan Allah datang begitu saja. Tidak ada kilat; tidak ada awan badai, tidak ada hujan lebat, tidak ada banjir. Alih-alih, ada mata air yang dengan tenang menggelegak dari bawah bumi – hal yang bisa menjanjikan sumber air pemberi kehidupan yang permanen.
BACA JUGA: 33 Hal yang Harus Diketahui soal Thawaf dan Sa’i
Allah telah menjawab doa-doa Ibrahim dan telah membuktikan kata-kata Hajar bahwa Allah tidak pernah mengabaikan hamba-Nya.
Dengan kehidupan yang didirikan Hajar di Mekah bersama putranya Ismail, sebuah bangsa lahir. Bangsa yang kemudian bertahan hingga akhir zaman. Sebuah bangsa yang salah satu keturunannya menjadi nabi dan rasul terakhir, yakni Muhammad SAW.
Semua berawal dari ibunda Hajar, seorang wanita yang rela memikul tanggung jawab yang besar untuk kehidupan. Untuk menghormatinya, usaha yang dia lakukan selama mencari mata air antara Safa dan Marwa kemudian diulang dalam ritual haji setiap tahun.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Inilah sebabnya mengapa orang-orang berjalan bolak-balik antara Safa dan Marwa.” (HR Al-Bukhari)
Ritual haji tersebut adalah sa’i, yakni berlari kecil antara dua bukit yakni Safa dan Marwa. Safa yang merupakan tempat dimulainya sunnah sa’i, terletak kurang lebih 100 m dari Ka’bah. Sedangkan Marwa terletak sekitar 350 m dari Ka’bah.
Jarak antara Safa dan Marwa sekitar 450 meter, sehingga perjalanan tujuh kali antara Safa dan Marwa berjumlah kurang lebih 3,15 kilometer. Kedua bukit tersebut serta jalur lintasan di antara keduanya, kini menjadi bagian dari Masjidil Haram. []
SUMBER: ABOUT ISLAM | ISLAM TODAY