Oleh: H. Subroto Asmoro
Penulis buku “Gali Potensi Raih Prestasi” (2013)
E-mail : subrotoasmoro15@gmail.com
MESKI sudah beberapa tahun silam, penulis ingat pesan juga pengalaman guru ngaji bahwa orang yang rajin sedekah dan bertaqwa, Allah s.w.t, akan memberi rizki dari arah yang tak terduga. Sang guru ngaji selesai menjadi imam sholat Subuh di mushola, dimintai bantuan do’a tetangga atau jama’ah yang sedang mmbangun rumah, pada peletakan batu pertama fondasi rumah.
Sebagaimana lazimnya sebagai ungkapan rasa terima-kasih sang pemilik rumah memberi makanan (Bahasa Jawa-nya “berkat”), serta amplop berisi uang sepantasnya. Berdasarkan pengalaman diatas, rizki tidak selalu berupa uang, kadang berupa ketenangan, kesehatan(coba kalau dipikir, andaikata mengidap penyakit (penyakit jasmani), kalau ingin sembuh, mau tidak mau mengeluarkan uang untuk ke dokter, beli obat, dan sebagainya).
Rizki kadang berupa nasihat baik, saran maupun pendapat, kritik yang bersifat membangun, beda dengan celaan atau cemooh, apalgi fitnah.
Kriteria rizki
Rizki diperoleh manusia semata-mata atas ridha atau izin Allah, tentunya melalui ikhtiar manusia disertai do’a kepada Allah, meski setiap manusia sudah ditetapkan rizkinya, sejak di zaman azali(manusia sebelum dilahirkan ke dunia). Rizki dapat berupa materi(uang, sembako, dan sebagainya), namun juga dapat berupa non-materi, misal ketenteraman, kesehatan dan sebagainya.
Dengan demikian rizki adalah segala keperluan atau hajat hidup jasmani serta hajat hidup rokhani(jbadah) manusia selama hidup di dunia. Mencari rizki yang halal (bekerja, berdagang dan sebagainya), merupakan salah satu dari sepuluh perintah Allah kepada manusia.
Yang menjadi pertanyaan adalah, kapan rizki akan habis atau berhenti? Rizki akan habis atau berhenti sejak manusia dipanggil menghadap Allah untuk selama-lamanya atau sejak meninggal dunia. Rizki setiap orang sudah ditetapkan, antara orang satu dengan orang lainnya relatif tidak selalu sama, sangat tergantung dari ikhtiar, do’a manusia dan jangan lupa tergantung ridha atau izin Allah. Barangkali ada pertanyaan kenapa tidak selalu sama?
Jenis dan kadar rizki manusia adalah hak Allah, semata-mata kekuasaan Allah untuk menguji ke-taqwa-an seseorang.
Pemanfaatan rizki
Rasulullah bersabda, yang artinya : “Semua perbuatan baik itu sedekah”(HR. Bukhari). Surat Fushshilat ayat 46, yang artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal soleh, maka pahalanya untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang melakukan kejahatan, maka dosanya buat dirinya sendiri; dan tidak sekali-kali Allah menganiaya hambanya.”
Lebih lanjut Rasulullah bersabda, yang artinya : “Tidak beriman kepadaku siapa saja yang tidur nyenyak, sementara ada tetangga sedang kelaparan, padahal dia tahu keadaan itu.” (HR. ath-Tabrani dan Al-Bazzar).
Rasulullah juga mengingatkan dalam sabdanya, yang artinya : “Manusia yang dicintai Allah yaitu manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain.”(at-Thabrani dalam as-Shagir 812 majma’zawaid 13708).
Adapun salah satu dari sepuluh perintah Allah yang lain kepada manusia ialah membelanjakan sebagian harta(rizki) di jalan Allah(Sodaqoh, infaq, amal jariyah dan sebagainya). Disamping rizki untuk memenuhi hajat hidup, maka disisihkan sebagian, dibelanjakan di jalan Allah(Zakat, sodaqoh, infaq), menyantuni fakir miskin.
Pengertian barokah
Yang dimaksud “barokah” ialah meningkat atau bertambah nilai manfaatnya. Jadi ukuran barokah bukan dari segi kuantitas(melimpahnya harta, atau rizki), namun sari aspek ada atau tidak peningkatan nilai manfaat. Meski harta(rizki ) banyak dan melimpah ruah, namun kalau sebagian tidak di manfaatkan di jlan Allah(hanya untuk foya-foya, bersenang-senang), dapat dikatakan tidak barokah.
Atau contoh lain meski harta melimpah-ruah, tidak dibelanjakan di jalan Allah(zakat, infaq, sodaqoh, dsb), dan sang pemilik harta sering sakit-sakitan sampai opname di Rumah-Sakit, menghabiskan biaya yang reltif banyak, jutaan, puluhan juta, ratusan juta, bahkan ada yang lebih banyak lagi.
Contoh di atas ialah rizki dapat dikatakan tidak barokah. Seballiknya, meski harta atau rizki tidak sampai melimpah ruah, relatif sedikit atau dapat dikatakan pas-pas-an, namun bila sang pemilik harta keadaannya sehat wal-afiat, meningkat kualitas iman-taqwanya, dapat infaq, sodaqoh serta amal-soleh lainnya, maka dapat dikatakan rizki barokah. Surat Ath Thalaaq ayat 3, yang artinya: ”Dan memberi rizki dari arah yang tak terduga. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan(yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Di samping itu yang perlu diperhatikan ialah “niat” bila mau bersedekah. Yang baik dan tepat ialah niat mencari ridha Allah. Sesuai dengan Surat Al Muddatstsir ayat 6, yang artinya : “Dan jangan kamu memberi dengan maksud menerima balasan yang lebih banyak.”
Kalau boleh berpendapat:
1. Kiat agar rizki barokah ialah mencari rizki dengan cara yang halal(tidak korupsi, tidak menipu, tidak mengurangi timbangan), sebagian dibelanjakan di jalan Allah. Sholat tahajut dan berdo’a agar diberi rizki yang barokah.
Rasulullah bersabda yang artinya : “Allah berkenan turun ke langit ketika sepertiga malam terakhir. Barangsiapa yang berdo;a pada Aku akan Aku perkenankan(kabulkan). Barangsiapa yang minta pada-Ku akan Aku perkenankan. Serta Aku beri yang minta ampun pada-Ku, akan Ku-perkenankan”(HR.Bukhari & Muslim).
2.bHarta benda tidak dibawa mati, yang dibawa ialah bekal ima-taqwa dan amal soleh. Harta yang dibelanjakan di jalan Allah akan menemani ahli kubur. Demikian yang dapat saya sampaikan, bila ada benarnya semata-mata dari Allah, bila banyak salahnya semata-mata kebodohan penulis. Semoga ada manfaat, kurang-lebihnya mohon maaf yang sebesar-besarnya. []
Surabaya, 20 April 2020
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word