Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, tak hanya sekali menolak membahas soal keadaan Muslim Rohingya. Ia telah berulang kali menolak menyoal krisis Rohingya.
Aung San Suu Kyi dan Pemerintah Myanmar sendiri tidak mengakui keberadaan Rohingya sebagai kelompok etnis di negaranya. Selain itu mereka menyalahkan kekerasan yang terjadi di Rakhine, dan operasi militer, dengan dalih menanggulangi “terorisme”.
Peraih Nobel Perdamaian itu mengklaim bahwa dirinya tidak memiliki kendali atas kekuatan militer. Aung San Suu Kyi kemudian menuai kritik dari dunia internasional, atas keengganannya untuk sekadar mengutuk aksi unjuk kekuatan militer Myanmar, serta enggan pula membela hak-hak Muslim Rohingya yang memiliki populasi sebanyak lebih dari satu juta di Myanmar.
Pemerintah Myanmar sendiri berulang kali menolak tuduhan pelanggaran HAM. Pada Februari 2017 lalu, PBB merilis sebuah laporan yang mengungkapkan fakta bahwa pasukan pemerintah “Sangat Mungkin” melakukan kejahatan kemanusiaan sejak operasi militer baru dimulai pada Oktober 2016 silam.
Pada saat itu, pemerintah Myanmar tidak langsung menangani temuan PBB tersebut. Mereka mengatakan bahwa pihaknya memiliki “hak untuk membela negara dengan cara yang sah”, melawan apa yang mereka sebut sebagai “teroris”, dan menegaskan bahwa penyelidikan domestik sudah cukup dilakukan.
Pada bulan April, Aung San Suu Kyi mengatakan dalam sebuah wawancara dengan BBC bahwa frasa “pembersihan etnis” terlalu “berlebihan” dalam menggambarkan situasi di Rakhine.
“Kurasa tidak ada pembersihan etnis yang terjadi,” kata Aung San Suu Kyi.
“Saya pikir pembersihan etnis terlalu berlebihan untuk digunakan pada apa yang tengah terjadi.”
Pada September 2016, Aung San Suu Kyi memberi mandat mantan kepala PBB Kofi Annan, untuk merumuskan solusi terhadap konflik yang telah berlangsung lama di Rakhine.
Sementara banyak pihak yang menyambut baik adanya komisi tersebut beserta temuannya yang dirilis Agustus ini, Azeem Ibrahim, seorang peneliti senior dari Center for Global Policy, berpendapat bahwa hal tersebut hanya sebuah cara bagi Aung San Suu Kyi untuk “menenangkan opini global.
“Ia mencoba menunjukkan kepada masyarakat internasional, bahwa dia melakukan apa yang dia bisa untuk menyelesaikan masalah ini,” ujar Ibrahim.
Namun, sayangnya Kofi Annan tidak diberi mandat untuk menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine secara spesifik. Ia hanya ditugaskan untuk meneliti soal pembangunan ekonomi jangka panjang, pendidikan dan perawatan kesehatan di negara bagian Rakhine.
Saat membentuk komisi tersebut, pemerintah Aung San Suu Kyi mengatakan akan mematuhi hasil temuannya.
Kemudian komisi tersebut mendesak pemerintah Myanmar untuk mengakhiri kekerasan militer terhadap Muslim Rohingya, perusakan di lingkungan tempat mereka tinggal, serta pembatasan mengenai pergerakan dan kewarganegaraan.
Setelah laporan tersebut dirilis pada Agustus, pemerintah menyambut baik rekomendasi komisi tersebut dengan mengatakan bahwa pihaknya akan mempertimbangkan laporan tersebut dengan “pertimbangan penuh serta merancang langkah-langkah untuk melaksanakan rekomendasi itu … sesuai dengan situasi di lapangan”.
Namun, di lain kesempatan, rezim Myanmar malah membatasi akses masuk ke negara bagian Rakhine bagi para jurnalis serta pekerja atau relawan kemanusiaan.
Kantor Aung San Suu Kyi malah menuduh lembaga bantuan yang hendak memasuki Rakhine, dengan menyebutnya akan membantu mereka yang dianggap pemerintah Myanmar sebagai “teroris”.
Pada bulan Januari, Yanghee Lee, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan bahwa dirinya ditolak untuk memasuki wilayah-wilayah tertentu di Rakhine. Lee hanya diizinkan untuk berbicara dengan Rohingya yang sebelumnya telah disetujui oleh pemerintah Myanmar.
Myanmar juga menolak visa tim PBB, yang akan menyelidiki soal kekerasan terhadap Rohingya serta dugaan pelanggaran HAM di Rakhine. []
Sumber: Al-Jazeera.