Sepekan ke belakang, warganet ramai memperbincangkan nasib Eko Purnomo yang tidak memiliki akses ke rumahnya karena terhalang tembok tetangganya.
Bagaimana Islam memandang kondisi tersebut?
Dikutip dari Konsultasisyariah.com, setidaknya ada 2 sudut pandang dalam melihat kasus tersebut.
Pertama, kewajiban menghormati tetangga
Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada tetangga. Seperti dalam firman-Nya,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ…
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh…” (QS. an-Nisa: 36)
Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Jibril sering berwasiat kepada beliau agar menjaga hubungan baik dengan tetangga. Sampai beliau merasa, tetangga itu akan mendapatkan warisan darinya,
مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
Jibril selalu berpesan kepadaku untuk berbuat baik dengan tetangga, hingga aku menyangka tetangga akan mendapat warisan. (HR. Bukhari 6015 dan Muslim 2624)
Saking besarnya hak tetangga, sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan, jika ada tetangga yang hendak meletakkan kayunya di tembok kita, maka kita dilarang untuk melarangnya.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bercerita, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَمْنَعْ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَهُ فِي جِدَارِهِ
Janganlah seseorang melarang tetangganya untuk menancapkan kayu ke temboknya. (HR. Bukhari 2463 dan Ahmad 15938)
BACA JUGA: Pak Eko: ‘Sakit Hati, Saya Keluar Rumah Loncat-loncatan Tembok’
Jika sebatas kebutuhan menancapkan kayu di tembok tidak boleh dilarang, apalagi kebutuhan akses untuk menuju rumahnya.
Sehingga setiap orang yang memiliki tanah, harus diberi hak untuk mendapatkan akses ke tanah tersebut. Kalaupun pemilik tanah itu tidak mau menyerahkan tanahnya, maka dia wajib menjualnya kepada tetangganya agar dia bisa memiliki jalan untuk akses ke rumahnya. Dan dia tidak boleh memonopoli dengan menaikkan harga.
Syaikhul Islam mengatakan,
إذا امتنع أرباب السلع من بيعها مع ضرورة الناس إليها إلا بزيادة على القيمة المعروفة، فهنا يجب عليهم بيعها بقيمة المثل
Jika pemilik barang menolak untuk menjual tanahnya sementara orang sangat membutuhkannya, kecuali jika dengan harga yang melebihi harga normal, maka dalam hal ini wajib bagi mereka menjualnya dengan harga normal. (al-Hisbah, hlm. 246)
Kedua, Kelengkapan objek dalam akad jual beli
Terdapat kaidah mengatakan,
التابع تابع
“Yang menjadi pengikut, hanya bisa mengikuti.”
Syaikh Dr. Muhammad Sidqi al-Burnu menjelaskan kaidah ini,
إن ما كان تابعاً لغيره في الوجود لا ينفرد بالحكم، بل يدخل في الحكم مع متبوعه والمراد بالتابع هنا: ما لا يوجد مستقلا بنفسه، بل وجوده تابع لوجود غيره، فهذا لا ينفك حكمه عن حكم متبوعه
“Sesuatu yang keberadaannya mengikuti lainnya, hukumnya tidak disendirikan, namun hukumnya mengikuti hukum yang diikuti (yang utama). Yang dimaksud tabi’ (yang mengikuti) di sini adalah sesuatu yang tidak bisa berdiri sendiri, namun keberadaannya mengikuti keberadaan lainnya (matbu’). Sehingga hukumnya tidak terpisah dari hukum yang diikuti (matbu’).”
BACA JUGA: Disebut ‘Cebonger’, Yusuf Mansur: Saya Cebong ya, Kampret juga
Kemudian beliau menyebutkan beberapa contohnya,
[1] Orang yang menjual hewan betina yang hamil, maka janin yang ada dalam kandungannya harus diikutkan dalam transaksi, karena dia mengikuti induknya. Dan tidak boleh dijual secara terpisah.
[2] Jalan yang menjadi akses untuk masuk ke sebuah tanah, diikutkan dalam transaksi jual beli tanah, dan hukumnya tidak disendirikan.
Kemudian Syaikh Dr. al-Burnu menyimpulkan,
فعلى هذا كل ما جرى في العرف على أنه من مشتملات المبيع في البيع من غير ذكر
Kaidah ini berlaku untuk semua benda yang secara urf (tradisi) menjadi bagian dari objek transaksi untuk diikutkan dalam jual beli, meskipun tidak disebutkan. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 331).
Dalam masalah ini, pemerintah memiliki wewenang paling besar. Pemerintah berhak untuk merapikan, menertibkan, sehingga jangan sampai ada pihak yang didzalimi oleh tetangganya sementara dia tidak bisa melakukan pembelaan.
Semoga Allah memberikan kebaikan bagi negeri ini. []
SUMBER: KONSULTASISYARIAH.COM