Oleh: Zaim Saidi
Direktur Wakala Induk Nusantara
PERNYATAAN ini mengacu pada sistem uang kertas, yang telah menggantikan uang emas (Dinar) dan uang perak (Dirham), yang kini memperlihatkan keruntuhannya. Hadis ini mendapatkan realitasnya dalam kurun empat puluh tahun terakhir ini.
Runtuhnya uang kertas terjadi pada hakikatnya yakni nilainya yang semakin susut. Uang kertas adalah pengkhianatan atas takaran nilai atau harga, yang diwujudkan sebagai alat tukar, dari fitrahnya semula berupa komoditas bernilai menjadi semata-mata simbol numerik. Akibatnya transaksi yang semula tunai bukan saja jadi tertunda tapi juga menggelembung semu. Keduanya, penundaan dan penggelembungan, adalah dua pilar riba. Dalam Qur’an sudah ditegaskan “Allah, subhanahu wa ta’ala akan meruntuhkan riba.”
BACA JUGA: Efek Riba dalam Dimensi Sosial-Ekonomi
Metamorfosa Uang Kertas
Untuk memahami substansi dan posisi hukumnya sebagai riba perlu dimengerti asal muasal uang kertas. Untuk sampai pada bentuk yang kita kenal hari ini uang kertas bermetamorfosa seiring zaman. Setidaknya ada tiga tahap.
Pertama, uang kertas lahir sebagai kuitansi (bukti utang), yang dikeluarkan para pandai emas dan perak, dan dapat ditebuskan kembali oleh pemiliknya. Dalam syariat Islam janji utang ini dikenal sebagai ‘dayn,’ yang haram dipakai sebagai alat jual-beli, karena pembayaran dengannya berarti tidak kontan. Pada satu titik pemerintah memberikan hak monopoli penerbitan surat utang itu kepada satu pihak saja yaitu bank sentral. Maka, janji utang yang semula bersifat privat (antara pemilik harta dan pihak yang dititipinya) kini menjadi publik, dan dipaksakan berlaku umum. Ini terjadi pada abad ke-17.
Kedua, para bankir yang sekarang memonopoli itu secara sepihak mengubah uang kertas tadi dari janji utang (promissory note) menjadi bank note, yaitu uang kertas tadi tidak lagi bisa ditebuskan jadi koin emas atau perak oleh pemiliknya. Meski setiap kali mencetaknya para bankir tetap menjaminnya dengan emas atau perak batangan. Ini disebut sebagai sistem standar emas, berlaku pada abad ke-20.
Di Amerika perubahan itu terjadi pada 1933, pasca depresi hebat. Rakyat Amerika dilarang memiliki emas dan harus menyerahkannya kepada The Federal Reserve, perusahaan swasta pemegang monopoli dolar AS. Rakyat boleh kembali memiliki emas dengan cara membelinya sebagai batangan, tapi dengan harga lebih mahal. Ketika dirampas oleh bank sentral AS (1933) emas dibeli 20 dolar AS/oz, setelah uang kertas dolar AS yang baru diterbitkan (1934), hanya bisa dimiliki kembali seharga 35 dolar AS/oz. Artinya dolar AS didevaluasi (40%). Emas tak lagi sebagai uang, tapi jadi komoditi.
BACA JUGA: 5 Cara Hindari Riba
Kemudian sejak 1944 Sistem Bretton Wood berhasil dipaksakan sebagai sistem internasioal. Intinya satu-satunya uang kertas yang didukung emas hanya dolar AS (kurs 35 dolar AS/oz), seluruh mata uang kertas lain dikurs tetap terhadap dolar AS. Perubahan kurs hanya bisa dilakukan oleh pemerintah nasional atas izin IMF (international Monetary Fund) yang didirikan bersama berlakunya sistem ini. Ini juga bermakna dolar AS ditetapkan sebagai standar dan berlaku internasional. Ini berlangsung sampai 1971.
Ketiga, pada Agustus 1971, Richard Nixon, Presiden AS yang hampir bangkrut karena Perang Vietnam, secara sepihak mengakhiri Bretton Wood, mencabut ikatan emas atas dolar AS. Maka, bank sentral dapat mencetak uang kertas sekehendaknya. Uang kertas bernilai dan diterima sebagai alat tukar sepenuhnya atas dasar paksaan undang-undang. Kurs antarauang kertas pun tidak lagi ditetapkan oleh pemerintah, melainkan oleh para pedagang uang. Uang kertas jadi komoditas dan seluruh sistem moneter sepenuhnya dikendalikan oleh spekulan.
Kisah Rupiah
Lahir sebagai negara fiskal baru, 1946, Republik Indonesia mengadopsi model yang sama. BNI 46 ditetapkan sebagai Bank Sentral, menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), dengan janji tiap Rp 2 bernilai satu gram emas. Bankir internasonal menolaknya. Setelah menyerah dalam Konferensi Meja Bundar (1949), sebagai syarat pengakuan atas RI, BNI 46 diganti oleh De Javasche Bank (mulai 1951 diubah jadi Bank Indonesia), ORI diganti dengan UBI (Uang Bank Indonesia).
Dari waktu ke waktu nilai tukar rupiah terus terdepresiasi, mencapai Rp 2.200 per dolar AS sebelum “Krismon” 1997. Rupiah kemudian “terjun bebas” pertengahan 1997, dan sejak itu terus terombang-ambing, lagi-lagi atas kemauan IMF dan Bank Dunia – dalam sistem kurs mengambang, dengan titik terendah Rp 16.000, awal 1998. Saat ini fluktuatif di Rp 9.500-Rp 10.000. Sementara dolar AS sendiri, yang berlaku sebagai jangkar, telah kehilangan lebih dari 95 persen daya belinya sejak berlaku pada 1913. Rupiah telah kehilangan 99 persen daya belinya sejak 1946.
Belakangan para bankir menemukan teknik baru, bukan untuk menghentikan, tapi menyembunyikan, proses keruntuhan uang kertas. Namanya redenominasi. Pembuangan beberapa angka 0 adalah untuk memberi efek psikologis masyarakat untuk tidak merasakan semakin miskin. Realitas sejatinya tidak bisa dikelabui. Dalam rentang dua tahun terakhir saja sejak isu redenominasi dilontarkan 2010 lalu, diukur dengan nilai telor ayam saja, rupiah telah kehilangan lebih dari 25% daya belinya. Dua tahun lalu Rp 100.000 dapat 7 kg telor ayam, hari ini cuma dapat 5 kg. Tidak ada bedanya rupiah diberi lima angka 0 (Rp 100.000) atau digunduli hanya dengan dua angka 0 (Rp 100). Daya belinya sudah tergerus 25%.
Redenominasi bukan solusi. Solusinya adalah ikutilah Nabi, kembali kepada Dirham perak dan Dinar emas, yang sudah terbukti bebas dari inflasi. []