KETIKA bersilaturahmi ke tempat KKN (Kuliah Kerja Nyata) seorang teman, saya berjumpa dengan ibu muda. Ia menggendong bayinya.
“Berapa bulan usia bayinya, Teh?” tanya saya.
“Baru 2 pekan, Bu,” jawabnya.
“Wah, masih bayi sudah ikut KKN ya,” tukas saya kemudian.
“Iya, habis gimana kalau saya tinggal kasian, tapi kalau saya gak ikut sekarang harus nunggu setahun kan terlalu lama,” ia menghela nafas kemudian mencium bayinya seraya berkata lagi, ”Oh,bayiku sayang bayiku malang, harus ikut sama mama ke kampung-kampung.”
Saya tersenyum. Dalam pikiran saya, masih agak mendingan bayi ini ikut mamanya bergerak dari satu kampung ke kampung lain mengisi pengajian atau kegiatan sosial. Ada yang lebih menghawatirkan lagi, bayi seusia ini sudah diajak jalan-jalan ke mall. Lebih parah lagi bayi dibawa ke undangan yang menyediakan hiburan dangdutan. Tambah parah lagi dibawa nonton pertandingan sepak bola di stadion. Menyedihkan sekali bayi yang dibawa-bawa ke tempat yang tidak aman untuknya.
Saat bayi dilahirkan, hingga usianya menginjak satu bulan, indera pendengarannyalah yang digunakan untuk mendapat pengetahuan. Mengapa demikian? Karena indera penglihatan bayi belum berfungsi secara maksimal. Bayangkan betapa tidak nyamannya bayi di usia ini saat harus berada di tempat-tempat dengan suara bising.
Betapa tidak aman pula untuknya jika berada di tempat orang berkumpul yang berisi informasi negatif. Semua yang didengarkannya akan tersimpan dalam memorinya. Hal yang paling tidak aman pula, jika bayi dikagetkan oleh suara-suara keras yang menghentakkannya. Karena suara keras itu akan menimbulkan kerusakan pada sel otaknya.
Ibu atau guru yang memiliki anak maupun anak didik bayi seusia ini hendaknya berbicara dengan penuh kelembutan juga penuh perhatian. Berbicara dengan menggunakan kalimat lengkap subyek, predikat, obyek dan keterangan. Berbicara dengan intonasi yang teratur dan artikulasi yang jelas. Hal ini harus dilakukan dalam setiap kegiatannya bersama sang bayi. Misalnya pada saat menyusui, menggantikan popok atau mengganti pakaian, saat memandikan dan saat kegiatan bermain bersamanya.
Ibu atau guru terus saja berbicara tentang apa yang dilakukan atau tentang benda-benda di sekitarnya. Tak henti-hentinya bicara, karena memahami bahwa hal ini penting dilakukan untuk memberi stimulus pada indera pendengaran bayi yang baru dilahirkan.
Bayangkan apa yang terjadi jika sang ibu saat menyusui menonton televisi, tak ada suara sedikit pun keluar dari mulut ibu.
Maka, suara dari televisilah yang akan tersimpan dalam memori bayinya. Alhamdulillah jika suara yang muncul adalah suara orang yang sedang tilawah. Namun jika yang ia dengar suara teriakan kemarahan, maka suara itulah yang akan ia simpan. Lebih miris lagi jika teriakan itu muncul dari mulut ayahnya karena air kencing sang bayi mengenai pangkuannya.
Nah, masihkah kita ingat, seperti apa perlakuan kita pada buah hati saat usianya sama dengan bayi yang saya ceritakan di awal? []