BILA hari ini merasa bangga dengan kekuasaan, sesungguhnya Fira’un jauh lebih berkuasa dengan pemerintahan terbentang luas, rakyatnya banyak, istananya megah, tentara perangnya hebat, dan hartanya melimpah ruah.
Bangga dengan jabatan di pemerintahan, sesungguhnya Haman telah berkuasa dengan menduduki kursi Perdana Menteri sebagai pendamping Fir’aun. Ia seorang yang cerdas, piawai, dan cerdik mengolola tata negara sehingga Mesir menjadi negara yang amat besar pada masanya.
Bangga dengan harta kekayaan, sesungguhnya Qarun lebih kaya dengan perbendaharaan harta yang berjibun jumlahnya, tak terpukul orang-orang kuat jumlah kuncinya.
BACA JUGA: 4 Azab bagi Manusia Sombong
Bangga dengan keilmuan, sesungguhnya Bal’am menguasai ilmu dan keulamaan yang luar biasa, lisan yang pasih, tutur kata yang memukau, dan argumentasi yang masuk akal lagi memesona.
Apa yang hendak kita banggakan? Tak ada. Kalau pun hari ini sedang berada di atas sebuah prestasi, puncak karier, bisnis, pendidikan dan sebagainya, itu bukan semata hasil usaha, tapi karena kebaikan Allah SWT.
Hidup ini sebentar saja. Bila sombong dengan jabatan, berapa lama sih berada pada posisi itu? Sombong dengan harta, ilmu dan gelar, belama lama sih hidup di dunia?
Yang membawa manfaat, menjadi doa kebaikan, menuai pahala dan dikenang masyarakat setelah meninggal dunia bukan jabatannya, kekayaan atau keilmuannya, melainkan amal shalihnya. Yang membawa manfaat itu jabatan dengan kebijakannya, harta yang disedekahkannya, dan ilmu dengan amal kebajikannya.
BACA JUGA: Jangan Sombong
Ya, itulah kondisi saat di atas, sebuah posisi yang rentan disambangi ujub, riya dan takabur. Setan gemar memompakan kesombongan. Di sini pentingnya mawas diri dan hati-hati, apalagi para pembicara yang kerap diundang jadi pembicara untuk menceritakan kesuksesannya.
Niat awalnya ingin bercerita agar orang lain terinspirasi, tapi yang ada justru berbangga diri memamerkan segala yang dicapai dan dimiliki. Sombong dan berbagi inspirasi itu amat rentan. Jaraknya dekat. Hijabnya tipis.
Jangan pula meniru janji sebagian pejabat di negeri antah barantah yang bermulut manis saat belum terpilih dan lupa ucapannya ketika duduk di kursi empuk. “Janjimu semanis madu, buktinya pahit bagai empedu.”
Di atas itu rawan tergelincir dan jatuh terguling-guling. Mending kalau jatuhnya sekedar lecet, khawatirnya babak belur dan meninggal dunia dalam keadaan iman tercerabut dari hatinya.
Inilah pentingnya menata hati. Saat di atas tak jumawa, saat di bawah tak putus asa. Saat jaya tak besar kepala, saat terpuruk tetap lapang dada. Tetap berpegang pada Rabbnya. Insyaallah buahnya kebaikan, keberkahan, dan pahala yang manis rasanya.