TOKYO—Ilmuwan Indonesia turut berperan dalam proses revolusi industri keempat yang menggejala di berbagai belahan dunia. Hal itu ditegaskan Warsito P. Taruno dalam simposium internasional di kampus Universitas Kyoto, Jepang, Senin (2/4/2018). Acara bertajuk “Electric Capacitance Volume Tomography (ECVT) and the Future of Internet of Things (IoT)” itu diselenggarakan dalam rangka memperingati 10 tahun berdirinya Institute for Chemical Research (ICR).
Revolusi industri keempat ditandai perkembangan superkomputer yang semakin kecil ukurannya tapi berkapasitas sangat tinggi, penemuan robot pintar (artificial intelligence), editing genetik dan perkembangan neurologi untuk mengoptimalkan fungsi otak. Revolusi industri pertama dimulai penemuan mesin uap pada abad ke-18 yang menyebabkan lompatan besar ekonomi dunia. Revolusi kedua dicirikan penemuan energi listrik dan motor pembakaran yang menghasilkan pesawat telepon, mobil dan pesawat terbang. Sedangkan generasi ketiga berupa teknologi komputer dan internet.
“Selama ini, Indonesia hanya menjadi pasar dan konsumen dari produk-produk teknologi negara maju. Padahal sebenarnya kita mampu menghasilkan produk teknologi yang canggih asal didukung riset berkelanjutan dan berkolaborasi dengan industri,” ujar Warsito, alumni Universitas Shizouka dalam teknik tomografi dan instrumentasi.
Setelah menamatkan program doktor, Warsito melanjutkan pos-doktoral di Ohio State University. Di Amerika Serikat, Warsito membantu Departemen Energi mengembangkan pembangkit listrik generasi baru dan juga NASA dalam mengembangkan sistem penginderaan untuk pesawat luar angkasa.
Warsito mematenkan ECVT di negeri Paman Sam (2006) dan mendirikan perusahaan Edwar Technology yang fokus memproduksi alat deteksi penyakit kanker. “Sejak lama kita melakukan deteksi dan terapi kanker dengan teknologi radiasi dan kemoterapi. Tetapi, dengan penemuan energi berkapasitas rendah, maka proses deteksi dan terapi kanker menjadi lebih mudah dan efektif,” jelas Warsito.
Bahkan, Warsito melangkah lebih jauh mengembangkan alat deteksi untuk memonitor aktivitas otak manusia secara real time dan tiga dimensi, sehingga dimungkinkan interaksi pikiran manusia dengan sinyal digital. Pengaruh temuan ini akan lebih dahsyat dari kecerdasan buatan.
Profesor Ken Umeno selaku Direktur ICR Universitas Kyoto sangat terkesan dengan temuan Warsito. “Kami mengagumi ilmuwan Indonesia, khususnya Dr. Warsito, karena penelitiannya menjadi terobosan penting dalam bidang tomografi dan kapasitas penginderaan. Teknologi layar sentuh dalam komputer dan smartphone hanya pendahuluan dari revolusi industri yang ditandai Internet of Things,” ungkap Umeno. Ia berkolaborasi dengan Warsito dalam penerapan chaos computing untuk menghasilkan teknologi gambar non-linear.
Riset terkini Umeno adalah deteksi gempa bumi melalui monitoring ionosfer menggunakan satelit luar angkasa. Untuk itu, Universitas Kyoto bekerjasama antara lain dengan STT Terpadu Nurul Fikri dalam visualisasi gejala gempa, sehinga dapat diprediksi dan diingatkan sejak dini (early warning), terutama gempa berkekuatan besar yang mengancam fasilitas publik.
Turut hadir dalam simposium itu Mukhtasor (Guru besar Institut Teknologi 10 November Surabaya), Rudi Lumanto (Ketua ID-SIRTII), Rahmat Sarifuddin (Direktur SIT Nurul Fikri), As Natio Lasman (Dewan Pengurus CSDS), Uray M. Dani (Ahli Peneliti Utama BATAN), dan Sapto Waluyo (Peneliti CSDS). “Kontribusi ilmuwan Indonesia dalam perkembangan teknologi dunia cukup banyak, yang popular antara lain Prof. B.J. Habibie dalam bidang pesawat terbang. Sayang sekali, peran itu terlihat personal karena kurang didukung pemerintah dan sektor swasta. Padahal, temuan Dr. Warsito misalnya, potensial mendapat hadiah Nobel, bila dikembangkan lebih lanjut,” simpul Sapto.
Warsito juga mengalami kendala untuk memproduksi temuannya dalam teknologi kesehatan di Indonesia. Akhirnya, harus bekerjasama dengan berbagai mitra lembaga akademik dan korporasi di mancanegara (Jepang, Jerman dan Turki). Padahal, Indonesia bisa menjadi negara maju, bila semangat kolaborasi telah melembaga. []