Oleh, Firda Purie Agustin
Kemarin siang saya dapat tugas liputan ke Kementerian Perdagangan di daerah Gambir. Di undangan tertulis acara dimulai jam 11.30, tapi diawali dengan makan siang. Saya perkirakan inti acara baru mulai sekitar jam 12.30.
Setelah menghitung estimasi waktu Bekasi-Jakarta naik commuter line itu sekitar 30 menit (kalo lancar), maka saya putuskan untuk berangkat dari rumah jam 11 tepat. Kebetulan pas sampai stasiun, keretanya sudah tersedia.
Biasanya kalau saya naik kereta di jam segitu, saya dapat tempat duduk. Mungkin karena tadi datangnya mepet pas kereta mau jalan, alhasil saya harus berdiri menyender. Untung nggak begitu penuh berjejal.
BACA JUGA:Â Ya Allah, Aku Hampir Menjual Islam Seharga 20 Pound
Perjalanan kereta super lancar. Berangkat jam 11.16, jam 11.45 sudah sampai di Stasiun Gondangdia. Saya memutuskan turun disini karena jarak ke tempat tujuan lebih dekat. Tinggal naik ojek, atau jalan kaki pun bisa.
Niatnya saya mau naik ojek. Itu lantaran Febrina, anak magang di kantor, sudah tiba di lokasi lebih dulu dan ‘memaksa’ saya sampai dengan segera. Ojek di sekitar Stasiun Gondangdia sangat banyak. Begitu turun tangga mereka dengan cepat menyerbu.
Risih dikerubuti tukang ojek, saya cuek aja jalan terus. Berlagak nggak butuh. Toh, di depan sana masih ada tukang ojek yang mangkal tanpa rebutan penumpang.
Benar kan kata saya. Di depan mata ada tukang ojek lagi ngadem. Langsung saja saya tawar, ‘Bang, ke Kemendag depan halte berapa?’. Belum juga sepakat, si abang ojek langsung menaiki motornya. Saya tegaskan lagi, ‘Berapa bang?’. Dengan pedenya dia jawab, ‘Rp 10 ribu aja’. Dalam hati, ‘gila tukang ojek jaman sekarang, deket banget gitu aja Rp 10 ribu?’.
Saya akhirnya menawar dengan tawaran yang menurut saya tinggi, ‘Rp 7 ribu deh, Bang!’. Bukannya ditanggapi dengan santai, si tukang ojek malah nyolot, ‘Duh, jauh saya muternya. Rp 7 ribu tapi situ nyebrang ya ?’. Emosi saya tersulut, saya balas, ‘Kalau nggak disebrangin ya harusnya Rp 5 ribu!’, dan seketika itu juga saya ngeloyor pergi. Saya putuskan jalan kaki saja.
Saya SMS Febrina untuk sedikit bersabar karena sebentar lagi saya sampai. Dia balas, ‘Ok Mbak, SMS yah kalau sudah sampai!’. Ahh..lega deh dia nggak marah.
Akhirnya, saya menikmati jalan kaki di trotoar seberang gedung MNC Tower. Terasa sedikit bernostalgia juga karena jalanan ini pernah saya akrabi saat lebih dari dua tahun menimba ilmu di koran rajawali biru.
Sampai di ujung jalan, saya bertemu lelaki tua renta yang wajahnya cukup familiar dalam ingatan. Ya, mungkin sekitar satu tahun lalu saya menjumpainya untuk pertama kali. Kala itu saya bertemu dengannya di depan warung makan bawah rel, tempat tongkrongan reporter koran rajawali biru.
Saya coba flashback sedikit momen tersebut. Saya baru turun dari kereta dan jalan kaki menuju kantor. Saya jalan berdua kawan, namanya Cindy. Saat itu masih jam 12 siang.
Kami memutuskan makan siang dulu di warung ayam bakar. Sambil menunggu pesanan, saya celingak-celinguk melihat sekitar. Entah kenapa, mata ini langsung tertuju pada lelaki yang berdiri di depan warung dengan dagangan yang ia pikul.
Dari luar sama sekali tak terlihat jenis dagangan apa yang ia jual. Peralatannya sederhana, hanya dua kaleng kerupuk berkarat. Saya menduga dia jualan es, atau rujak bebek.
Daripada penasaran, saya dekati dia. Saya tanya, ‘Kek, jualan apa ini?’. Dia tersenyum sambil mengeluarkan isi dagangan. Gulali. Saya biasa menyebutnya ‘rambut nenek’. ‘ Nona, ini makanan asli betawi. Udah jarang yang jual. Mari dicoba,‘ katanya sambil memberikan saya setangkup gulali gratis.
‘Nona’? Dia panggil saya nona? Hehe..Baru kali ini saya dipanggil begitu. Oleh pedagang gulali pula. Kemudian saya tanya berapa harganya. Dia jawab ‘Terserah nona maunya berapa?’. Akhirnya, saya dan Cindy beli masing-masing Rp. 5000. Lumayan buat cemilan bareng teman-teman.
Pada saat mau membayar, saya sengaja kasih Rp. 20.000 dengan maksud sisanya ambil saja buat ongkos pulang ke rumah. Saya iba dan ingin sedikit berbagi. Tapi, ternyata reaksi si kakek diluar dugaan. Dia menolak dengan keras, bahkan sampai ingin meminta kembali gulalinya.
Saya jadi tak enak hati. Sungguh tidak ada niat merendahkan, hanya ingin berbagi. Saya minta maaf dan coba menenangkan dia. Saya bilang, ‘Kalau gitu tambahin lagi deh gulalinya jadi Rp 20 ribu,‘. Kakek pun setuju.
Dia lantas bercerita panjang lebar tentang dagangannya. Tampak begitu bangga dengan apa yang ia hasilkan. Tak sungkan memberi tester gratis pada calon pembeli. Pokoknya puas aja kalau gulalinya dinikmati.
Saya ajak ngobrol seputar kesehariannya jualan gulali. Lagi, saya merasa iba. Setiap hari dia pulang pergi Jakarta-Bogor memikul dagangan naik KRL ekonomi. Berangkat jam lima pagi, pulang nggak tentu. Bisa jam 8 malam, jam 10 malam, ya asal kereta masih ada.
Sama sekali tak terdengar sepatah kata pun tentang keluhan yang biasa terlontar seperti saya berbincang dengan supir taksi, tukang ojek, atau pedagang siomay. Walau sudah tua, harus diakui semangatnya luar biasa. ‘Dibawa senang-senang saja nona, jangan lihat susahnya’, begitu katanya.
Waktu saya iseng tanya soal keluarga, dia mengaku tidak memiliki anak. Istrinya juga sudah meninggal. Praktis hidupnya kini tinggal seorang diri. Sekali lagi, itu bukan alasan untuk mengeluh. Apalagi, meratapi nasib. ‘Ntar juga saya meninggal, jadi ngapain dipikirin’, ujar dia enteng.
Itu obrolan pertama kali setahun lalu. Nah, sekarang Tuhan pertemukan saya kembali dengan si kakek. Tidak ada yang berubah kecuali tubuhnya yang kian renta.
Saya sapa, ‘Kek, baru keliatan lagi. Masih inget saya nggak?’. Dia hanya tertawa memperlihatkan deretan gigi yang sudah ompong. ‘Iya nona tapi lupa-lupa’. Oh ya, ada yang sedikit beda dari dagangan kakek. Sekarang gulalinya sudah disiapkan per plastik. Jadi, kalau ada yang mau beli tinggal ambil.
‘Ini se-plastiknya berapa?’ tanya saya. Dia jawab, ‘Rp 2000′. Hah?Rp 2000? Saya tahu harga gulali di pasaran memang tidak mahal. Tapi, dengan isi yang lumayan banyak begitu rasanya harga Rp 2000 terlalu murah.
Saya hitung, masih ada sekitar lima plastik yang dipajang. Sialnya, duit di kantong tinggal Rp 15 ribu. Hanya cukup buat ongkos pulang. Saya jadi nggak bisa beli semua. Cuma beli dua plastik. Duh, nyesel juga.
Saat mau bayar, kakek masih saja seperti dulu. Memberi saya setangkup gulali gratis untuk dicoba. ‘Ini nona coba dulu nanti menyesal lagi kalau rasanya nggak enak’. Saya bilang, nggak perlu dicoba kan udah tau rasanya. Enak kok. Dia tetap memaksa, katanya, takut rasanya berubah.
Dan, nggak cuma saya aja yang dikasih gratisan. Semua calon pembeli diperlakukan sama. Asal tahu, gulali buatan kakek memakai gula pasir asli tanpa pewarna. Jadi, flat cuma warna putih gelap khas gula pasir aja.
Saya nggak asal ngomong atau sedang berpromosi. Teman-teman juga keluarga saya mengakui itu. Beda banget deh sama yang dijual di tempat lain, yang pakai warna pink.
Untuk menyenangkan hati kakek, saya cicipi gulali itu. Dia tampak senang sekali gulalinya saya makan. ‘Masih enak kok, masih sama. Manisnya pas,’ kata saya jujur. Kakek tersenyum sumringah dan malah memberi saya setangkup lagi, gratis. ‘Ini ambil lagi buat dijalan’.
Seketika saya ingin menangis. Gulali yang ia jual harganya cuma Rp 2000 per plastik. Kalau laku semua, kira-kira cuma dapat Rp 30 ribuan. Tapi, dia masih bisa memberi gratis pada semua calon pembeli.  Hidup yang terlihat miris dari luar, ternyata dirasakan begitu manis. Sama seperti rasa gulali yang ia jual. Ya Tuhan.. sungguh saya terenyuh. ‘Berkah ya, Kek, rejekinya. Amin..’, doa saya dalam hati.
Saya lantas melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan. Masih dengan perasaan yang ‘tertampar’. Saya seperti berdialog dengan diri sendiri. Malu tepatnya.
Kalau dibandingkan, gaji saya jauh lebih besar dari penghasilan kakek. Saya juga masih muda dan sehat. Cuma kok kebanyakan ngeluhnya. Hidup yang nggak sempurna-lah, kerjaan yang banyak banget-lah, yah macem-macem deh. Minim banget rasa syukur.
Tuhan seperti mau mengajari saya bagaimana caranya bersyukur. Sederhana. Cukup dengan senyum, wajah yang ceria, dan hati yang ikhlas memberi, tanpa embel-embel kepentingan atau rasa takut kehilangan rejeki.
Dua hal bodoh yang saya lakukan adalah lupa menanyakan siapa nama kakek dan mengambil gambarnya. Semoga Tuhan pertemukan saya kembali dengannya. Masih banyak yang ingin saya pelajari.
Teman-teman bisa coba buktikan sendiri cerita saya bila bertemu dengannya. Kakek penjual gulali itu dua kali saya temui di sekitar MNC Tower, kata seorang teman yang juga pernah melihat, kadang suka mangkal di Jalan Sabang.
BACA JUGA:Â Bersabarlah dan Tetap Tersenyum
Perawakannya kecil, renta, memakai topi kompeni, tanpa alas kaki, dan memikul dagangan gulali. Kalau saya ketemu dia lagi, saya janji akan sebutkan nama, juga menunjukkan fotonya. Sebut saja itu janji reporter galau.[]
Penulis adalah wartawan Detik dan alumni London School of Public Relations
Sumber: Kompasiana