Oleh: Bidadari Azzam
Kontributor Islampos di Malaysia
AKU merasa lemas, ikut haru dan sedih tatkala mendengar berita kematian seorang teman. Beliau termasuk pejuang keluarga, pahlawan devisa yang membantu biaya hidup keluarganya. Pemikirannya ‘sedikit’ terbawa efek sobat-sobat muslim, meskipun agamanya berbeda. Tak menyangka, perjumpaan sesaat ternyata adalah yang pertama dan terakhir, teman itu meninggal dunia karena membunuh dirinya sendiri. Astaghfirrullah…
Ia tak sanggup menahan diri tatkala mengetahui si suami memiliki banyak perempuan lain di tanah air. Anak-anak mereka telantar karena uang kiriman dihabiskan untuk berfoya-foya oleh ayah tak bertanggung jawab tersebut. Oh Allah, ampuni keterbatasan kami… Sesiapa pun tak menyangka, di balik pendiam dan kelembutan kata, teman kita ini memiliki jutaan problema nan menghimpit jantungnya. Sungguh ini juga secuil potret buram para keluarga TKW-Srikandi pahlawan devisa tanah air kita. Masalah mirip yang seperti ini, jumlahnya ratusan, dan menjadi PR seluruh elemen bangsa yang entah kapan selesainya.
BACA JUGA: Kematian, Ini 3 Hal yang Mengikuti Mayat
Seorang sobat mengatakan, “Kenapa tidak cepat-cepat berjumpa dengannya, sehingga bisa tau kondisi dan permasalahannya?” Yah, itulah kalimat pendek yang terucap tatkala ia amat menyesali kejadian itu. Sama seperti sahabatku di Krakow, “Kenapa tidak cepat-cepat melangsungkan pernikahan? kenapa harus bertunangan dulu lima tahun?” penyesalan itu spontan terucap tatkala sang kekasih dipanggil Allah SWT sebelum pernikahan berlangsung. Inna lillahi wa inna ilayhi roji’uun…
Duhai sahabatku, pernah seorang saudari muslimah mengalami hal ini pula. Malam itu ia menunda perjumpaan dengan sahabatnya yang sedang terbaring sakit, meskipun ia sangat ingin cepat berjumpa. Kelelahan raga adalah salah satu ciri manusiawi pada kita. Namun sayangnya waktu tak bisa diputar ulang, paginya sang sahabat telah memejamkan mata, meninggalkan dunia fana untuk selamanya. Hadiah yang telah dipersiapkan untuk bersilaturrahim menjadi basah oleh air mata, dalam dekap rasa sesal.
Mumpung masih ada kesempatan, saat masih ada waktu yang menjadi amanah dan hadiah bagi jiwa raga kita, mari kita optimalkan dengan sebaik-baiknya. Wujudkan rasa syukur kita tanpa menunda segala aktivitas kebaikan. Lihatlah saudara-saudari kita di Gaza, mereka menjaga wudhu dan muroja’ah quran setiap waktu, bersiap menjemput syahid selalu. Masih ada waktu buat kita untuk merasa malu, lalu memperbaiki diri.
Aku teringat kepada seorang sister yang telah lanjut usia, ia berasal dari Damascus, hijrah ke bumi Eropa. Gara-gara ‘aturan dan tata tertib’ menyambut tamu di area masyarakat Poland amat ketat, rapi dan harus ‘high-impression’, janjinya untuk mengundang diriku, sist Selma, dan sist Derya tak juga dapat ditunaikan. Dua tahun yang lalu, ia pindah rumah sewaan, “Nanti, yah, rumah lama amat kecil, nanti saya rapikan tempat baru dulu, banyak keperluan dekorasi harus dibeli, akan saya undang kalian untuk belajar quran bersama…” Kami mengucapkan terima kasih dan menantikan undangan itu dengan sabar.
Takdir telah berjalan dengan segala kehendakNya. Hingga sist Selma, sist Derya dan diriku pindah meninggalkan Old Town Krakow setahun lalu, janji tersebut belum ditunaikannya. Bahkan kini ia telah pindah rumah lagi dan dalam kondisi sakit-sakitan, faghfirlana… Saat masih ada waktu, hal-hal mudah untuk menjadi amal kebaikan ibadah kita, janganlah kita buat menjadi rumit. Budaya dan aturan di tempat kita berpijak, yang kita terapkan hendaklah yang sesuai dengan batas rambu-rambu syari’at. Jangan menyulitkan hal yang mudah, jangan menghiasi hari dengan kemubaziran.
Dan ada pula saudara jauh lainnya, di sudut kota P, tanah Sumatera, penyesalan melanda jiwanya. Sebulan lalu sang ayah telah pergi ke alam barzah. Padahal dalam dua tahun ini, sang ayah membujuknya untuk segera menikah, memperbaiki masa muda yang ‘amburadul’, astaghfirrulloh… Ayahnya mencoba meyakinkan kala telah terbaring di ranjang rumah sakit, “Ayah pernah muda, nak… Dan Ayah sangat menyesali ragam kejahilan masa lalu. Dengarkan Ayah, tolonglah Nak, Janganlah kamu mengikuti jejak itu… Menikahlah, mumpung Ayah masih bisa melihat acara itu….”
BACA JUGA: Kematian Pasti Datang Tiba-tiba
Pencemaran budaya barat yang telah diserap oleh pemuda-pemudi negeri membuat si anak lebih ‘nyaman’ pacaran, dengan alasan belum siap menikah. Mendekap anak orang dan mondar-mandir kemana-mana berduaan, tanpa tanggung jawab koridor halal dalam lembaran surat nikah. Na’udzubillah, tiada belajar dari masa lalu ketiga abangnya yang menikah didasari MBA (married by accident), lalu amat mudah membahas perceraian. Astaghfirrulloh… Padahal saat masih ada waktu, seberat apa pun beban problema, sebesar apa pun dosa kita, kalau punya mata hati nan terbuka untuk bertaubat, maka insya Allah hidup kita pun senantiasa selamat.
Menunda-nunda aktivitas kebaikan sering membuat kita terpeleset pada maksiat, terlena dalam kefanaan, bahkan tak sadar jika tiba-tiba malah jatuh sakit, lalu sekarat. Maut mengintai setiap saat.
Adalah Imam Nawawi rahimahullah, telah menuliskan satu bab dalam Riyadhus Sholihin dengan judulmubadaroh ilal khoiroti wa hatsi man tawajjaha likhoirin ‘alal Iqbali ‘alaihi bil jiddi min ghoiri taroddudin yang artinya bersegera kepada kebaikan-kebaikan dan dorongan kepada siapa yang mengarah kepada kebaikan agar menghadapinya dengan kesungguhan tanpa ragu-ragu.
Dengan ilmu yang luas dan teladan yang baik beliau menasehati kita kaum muslimin untuk besegera kepada kebaikan.
Bersegera kepada kebaikan sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Utsaimin dalam syarahnya adalah lawan dari berlambat-lambat dan malas,
“Al Mubadaroh adalah lawan dari berlambat-lambat dan malas, betapa banyak manusia berlambat-lambat dan malas sehingga kebaikan yang banyak luput darinya. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Orang mu’min yang kuat itu lebih baik dengan orang mu’min yang lemah dan dalam segala perkara bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah ta’ala dan jangan lemah.”
BACA JUGA: Ini Sebab-sebab Setan Menguasai Manusia
Kemudian Syaikh Utsaimin melanjutkan : Manusia terkadang berlambat-lambat dalam suatu perkara kemudian datang kepadanya sesuatu dan akhirnya tidak mampu melakukan kebaikan itu setelahnya mungkin karena mati, sakit, terhalang kegiatan lain atau selain itu.
Duhai sahabat-sahabatku, bagaimanakah nikmat iman kita pada saat ini? Masih ada waktu, mari bertaubat dan senantiasa memperbaiki diri, wallohu a’lam bisshowab. []
(@bidadari_azzam, Kuala Lumpur, penghujung Syawal 1435h)
*Penulis adalah ananda dari bapak H. Muhammad Holdoun Syamsuri TM Moorsid dan ibunda Hj. Sahla binti H. Majid, kelahiran Palembang 19 Juni 1983, blogger sejak 2007, mantan pelajar berprestasi Indonesia. Ia merupakan supporter setia suami saat bertugas menyelesaikan projek IT SAP di berbagai negara, pembimbing para muallaf dengan aktif sebagai koordinator muslimah di Islamic-Centre Krakow, Poland. Sarjana Ilmu Komunikasi, ibu tiga jagoan, sahabat pendidik dan pengamat TKI, peserta kelas Quran Hadits di Ampang Putra-KL. #PeduliKanker Saat ini aktif pula menjadi sukarelawan pengurusan jenazah muslimah.dll. Buku karyanya antara lain Catatan CintaNya di Krakow, Antologi “Indahnya Persahabatan” (2012), Sajak Mengeja Masa (Kumpulan Puisi)~2013. Silaturrahim di :Twitter ID : @bidadari_azzam, FB akun : Sry Bidadari Azzam Dua