Oleh: Muhammad Lili Nur Aulia
Saat menginjak usia 40 tahun, apa yang ada dalam benak kepala kita tentang angka usia empat puluh tahun?
Saudaraku,
Al Qur’an, khusus menyebut angka usia itu dalam surat Al Ahqaf ayat 15. Dalam ayat yang menjelaskan kewajiban seorang anak berbakti kepada kedua orang tua itu, Allah swt berfirman, ”…. Sehingga apabila dia (anak) telah dewasa dan mencapai usia empat puluh tahun, ia berdo’a : ”Ya Tuhanku, tunjukkanlah aku untuk mensyukuri nikmat yang Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal shalih yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
BACA JUGA: Jadi Orang Tua Durhaka, Bagaimana Mungkin?
Coba perhatikanlah potongan kalimat dalam do’a seorang anak saat ia berusia empat puluh tahun itu.
Pertama, do’a itu yang mengandung pengharapan kepada Allah swt agar bisa dikaruniai jiwa yang sadar akan ragam kenikmatan Allah swt yang telah dilimpahkan selama ini. ”Ya Tuhanku, tunjukkanlah aku untuk mensyukuri nikmat yang Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku…” Ini kalimat tanda kesadaran dan ketundukan yang harus sudah ada sejak seseorang menginjak usia empat puluh tahun. Kesadaran atas kenikmatan yang begitu banyak dan lama, namun tetap tidak melupakan kenikmatan paling besar yang telah Allah swt berikan melalui kedua orang tuanya. Bukti pengakuan atas ketidakberdayaan selama ini, kecuali karena kasih sayang Allah swt dan orang tua.
Kedua, do’a itu berisi permohonan agar bisa lebih giat dan kuat dalam menjalani amal-amal shalih untuk mendapatkan ridha Allah swt. Ucapan ”supaya aku dapat berbuat amal shalih yang Engkau ridhai” merupakan pernyataan tentang keinginan agar Allah swt menetapkan hati lebih kuat, memberikan kesehatan lebih baik setelah usia itu, untuk bisa melipatgandakan keshalihan-keshalihan yang bisa mengundang ridha-Nya. Ucapan tentang keinginan dan harapan ini, secara implisit menyimpan adanya kekhawatiran karena usia yang semakin tua, sekaligus kerawanan terhadap berbagai fitnah dan ujian yang mungkin datang di usia-usia yang sebenarnya harus mendekatkan setiap orang kepada Penciptanya. Tanda kian kuatnya pikiran bahwa hidup ini harus bernilai dan keinginan meninggalkan suatu yang berharga dalam hidup ini. Karena itulah, ia memohon agar Allah swt lebih menguatkan segala keadaan yang mendukung amal-amal shalih.
Ketiga, dalam do’a itu disebutkan ”berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku…” Ini adalah sebuah pinta yang lahir atas kesadaran tanggung jawab atas anak dan kelak cucu, yang akan menjalani kehidupan seperti yang dialami selama empat puluh tahun. Setelah melewati masa-masa awal pernikahan, menimang dan mendidik buah hati di saat mereka masih kecil, hingga saat mereka menjelang remaja dan akhirnya dewasa seperti diri para orang tua mereka. Kesadaran bahwa kelak, anak-anak dan cucu-cucu itu, tidak mungkin selalu didampingi dan diarahkan jejak langkahnya. Kesadaran bahwa ada banyak cobaan yang menghalangi mereka untuk menjadi manusia yang shalihin dan shalihat….
Tiga hal yang terkandung dalam do’a ini, menyiratkan jawaban pertanyaan dalam yang muncul dalam diri manusia yan telah menginjak empat puluh tahun. ”Apa yang telah kupersembahkan selama empat puluh tahun?” ”Apa yang aku lakukan sekarang?” dan ”Apa yang akan aku lakukan di hari-hari mendatang?”
Saudaraku,
Apa yang ada dalam benak kita tentang angka usia empat puluh tahun? Ibnu Athiyyah dalam Al Wajiiz, menjelaskan bahwa penyebutan angka usia empat puluh tahun dalam firman Allah swt itu, salah satunya memiliki arti bahwa di usia itulah tapal batas kebaikan atau keburukan seseorang. Sementara ada pula sebagian orang yang menganggap usia empat puluh merupakan batas peralihan seorang manusia dari kuat menjadi lemah. Tapi di sisi lain, kelemahan itu diiringi dengan kematangan pengalaman, keseriusan beramal, sehingga mulai usia itulah seseorang akan bisa terlihat sumbangsih dan peran-perannya yang lebih nyata.
BACA JUGA: Menentang Orang Tua Soal Pilihan Calon Istri, Durhakakah?
Islam tidak menganggap usia empat puluh tahun sebagai waham yang menghantui seseorang bahwa ia menjadi semakin berat bergerak, lekas letih, sulit beraktifitas, dan lemah. Tapi dilihat dari isi do’a yang termuat dalam surat Al Ahqaaf di atas, sesungguhnya peran-peran besar itu sedang dimulai sejak seseorang menginjak usia empat puluh tahun. Sebab, dalam keyakinan Islam kita, usia berapapun tak pernah boleh menjadikan seseorang merasa lebih lemah untuk melakukan kebaikan. Imam Ahmad rahimahullah, dalam usia renta, ditanya, ”Sampai kapan engkau akan menulis hadits?” Ia menjawab, ”Sampai mati.” (Aadaab fi Thalabil Ilmi, 29).
Sebagaimana, usia tak pernah menjadi pertanda seseorang lebih lemah. Tanda-tanda fisik yang umumnya muncul bagi seseorang yang menginjak usia empat puluh tahunpun tak menjadi tanda tua dan lemah. Justru contoh terbaik dalam hal ini adalah Rasulullah saw, yang mengawali perjuangan dakwahnya di saat usia empat puluh tahun. Dan memulai terlibat dalam perjuangan pertamanya dalam perang Badar, saat berusia lima puluh lima tahun.
Saudaraku,
Lalu apa pandangan para salafushalih tentang usia empat puluh tahun? Masruuq, seorang faqih asal Kufah yang wafat tahun 62 Hijriyah mengatakan, ”Jika salah seorang kalian memasuki usia empat puluh tahun, berhati-hatilah jangan sampai jauh dari Allah swt.” Muhammad bin Husain, cicit dari sahabat Rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib ra, mengatakan, ”Seseorang yang usianya mencapai empat puluh tahun, ada panggilan yang menyerunya dari langit, ”Masa usiamu sudah hampir habis, perbanyaklah bekal.. ”
Saudaraku,
Apa yang ada dalam benak kita tentang angka usia empat puluh tahun? []