SAAT itu Rasulullah tertunduk, beliau terpaku memandangi sebuah kalung yang sangat akrab dengan ingatannya. Ternyata beliau teringat pada pemilik kalung tersebut. Khadijah R.A adalah pemiliknya. Istri yang begitu besar pengorbanannya kepada Rasulullah.
Kalung itu kemudian dihadiahkan kepada putri sulung mereka Zaenab binti Muhammad saat menikah beberapa tahun silam. Dan kisah sampainya kalung itu pada genggamannya sangat mengharukan hati Rasulullah SAW.
Zainab, putri kesayangannya, menjadikan kalung itu sebagai tebusan bagi suaminya yang menjadi tawanan usai perang Badar.
BACA JUGA: Kisah Rasulullah Ringankan Shalat untuk Umatnya, Bolak-balik Menghadap Allah (2-Habis)
Suami Zainab, Abul ‘Ash, memang berada dalam barisan kaum musyrikin saat perang terjadi. Dan saat itu ia berada dalam tawanan kaum muslimin. Menantu Rasulullah itu menolak masuk Islam saat diajak istrinya pada awal kenabian.
Namun Abul ‘Ash tidak pernah melarang ke-Islaman Zainab, ia membiarkannya mengikuti agama ayahnya.
Saat mengetahui bahwa suaminya berada dalam tawanan kaum muslimin, Zainab mendatangi ayahnya dan memberikan kalung hadiah ibunya itu sebagai tebusan. Karena hanya kalung itulah harta yang Zainab miliki.
Meski permohonan itu datang dari putinya, Rasulullah tidak dapat memutuskan sendiri. Beliau mendiskusikan dengan para sahabat. Semua sahabat yang mengetahui sejarah kalung tersebut ikut terharu.
Lalu Rasulullah berkata kepada para sahabat, “Jika kalian setuju melepaskan Abul ‘Ash dan mengembalikan tebusan ini kepadanya, maka lakukanlah.”
Mendengar itu, semua serentak menyetujui permohonan orang dicintainya itu.
Setelah bebas, Rasulullah meminta Abul ‘Ash agar tidak bersama dengan Zainab lagi. Karena Islam telah memisahkan mereka. Perbedaan keyakinan mereka telah melarang mereka untuk hidup sebagai sepasang suami istri.
Rasulullah pun meminta agar ia mengizinkan Zainab hijrah ke Madinah. Mendengar itu, Abul ‘Ash berjanji memenuhi permintaan Rasulullah.
Setelah Abul ‘Ash tiba di mekkah, Zainab menyambutnya dengan rasa bahagia. Namun ia melihat wajah suaminya itu muram. Zainab heran, apalagi saat suaminya berkata, “aku datang untuk menyampaikan salam perpisahan padamu.”
Zainab bertambah bingung mendengar perkataan suaminya itu. “Engkau hendak pergi kemana?” tanyanya.
BACA JUGA: Zainab Binti Hudair, Istri yang Shalihah
“Bukan aku yang hendak pergi, tetapi engkau. Ayahmu meminta agar aku melepaskan mu karena Islam telah memisahkan kita. Aku telah berjanji kepadanya untuk membiarkanmu pergi, dan aku bukanlah orang yang suka membatalkan perjanjian.”
Perasaan Zainab campur aduk antara gembira dan sedih. Gembira karena akan bertemu saudaranya di Madinah, namun sedih karena harus meninggalkan suami yang ia cintai, yang sudah hidup bersamanya selama belasan tahun.
Bagi Zainab, suaminya adalah pria yang baik. Ia prihatin karena suaminya tidak mau menerima Islam sebagai agamanya. Kini mereka harus berpisah karena perbedaan akidah, namun Zainab tetap berdoa agar Allah melapangkan hati Abul ‘Ash agar menerima Islam sebagai agamanya.
Doa dan harpan Zainab 6 tahun kemudian terkabul. Setelah mengalami lika-liku kehidupan, Abul ‘Ash akhirnya menemui Rasulullah di Madinah dan menyatakan keislamannya. Akhirnya, setelah Abul ‘Ash resmi menjadi seorang muslim, Rasulullah kembali menyatukan mereka dalam bahtera rumah tangga yang berlandaskan akidah yang sama. []
Sumber: Jalan Sirah