SATU bulan lalu, seorang sahabat dekat menelefon saya. Bada Isya.
“Saya mau pindah ke kota sebelah,” ujarnya. “Perusahaan saya sudah di sana semuanya. Saya tak punya banyak hal yang harus dipertahankan di sini.”
Saya tercekat. Akhirnya, datang juga niat itu; datang juga keinginan untuk pergi ke kota sebelah. “Ya,” saya menimpali, nyaris tak terdengar, “Dari sejak si bos pisah kongsi, saya sudah tahu, si bos harus pindah ke sana juga.”
Sahabat saya diam.
“Perusahaan si bos memang bisa berjalan sendiri,” ujar saya lagi, dengan masih tak ada rasa, “tapi kehadiran si bos di tengah-tengah karyawan akan memberi hangat dan rasa aman kepada mereka. Manajer-manajer si bos jadi lebih terkordinasi. Apapun kondisinya.”
“Berarti saya ga jadi pensiun dini,” dia tertawa.
Saya juga tertawa garing.
Sahabat saya itu kemudian pergi. Pindah sekeluarga. Satu buah kendaraan dan rumahnya seluas 220 meter beserta isinya diberikan begitu saja kepada saya. “Rumah si bos yang itu jual atau kontrakan saja. Buat bayar ini itu. Si bos tempatin rumah saya. Saya ga berniat untuk kembali ke kota ini.”
BACA JUGA:Â Kue Kiriman, Dimarahi 2 Kali
Perlu waktu lama saya memahami ucapan ini. Jumat, satu pekan kemarin, saya mengikuti perpindahan sahabat saya itu, pick up kloter terakhir mengangkut barang-barang yang kecil, karena barang-barang lainnya, sudah lebih dulu diangkut sejak Senin.
Dan saya sekeluargapun pindah ke rumahnya. Begitu saja. Sepekan di rumah baru, saya menemukan banyak hal yang ia tinggalkan; kebaikan-kebaikan yang tak pernah putus dari tetangga kiri kanan depan belakang. Benarlah bahwa sebagian kebaikan seseorang akan Allah bukakan setelah orang itu tak lagi bersamamu.
Tadi pagi, ia menitipkan anaknya laki-laki 6 tahun di rumah, karena ia mengurus ayahnya yang sakit dan perlu dibawa ke rumah sakit. Sebelum Jumatan, kami ngobrol sebentar, dan ia kembali pergi ke kota sebelah.
Di motor, saya berujar pada istri saya, juga nyaris tidak terdengar, “I’m starting losing him….”
“Kenapa? Kan ayah juga masih kontak-kontakan sama dia terus lewat HP.”
Saya menjawab, sementara titik gerimis mulai menyentuh permukaan helm. “Aku kehilangan dia. Justru ketika aku sekarang berada di rumahnya. Aku terbiasa berbincang dengan dia, tentang nasihat-nasihat, tentang rencana-rencana masa depan, tentang banyak hal….
BACA JUGA:Â Ibadah Itu …
“Bertemu dan berbincang dengan dia selalu membuatku jadi lebih baik. Membuatku bersemangat untuk berbuat lebih. Itu adalah sesuatu yang mahal buatku,” ujar saya lagi.
Istri saya tidak menjawab kali ini. Dia hanya melingkarkan tangan kanannya ke pinggang saya dengan perlahan; sementara satu air mata bening perlahan jatuh bersama gerimis sore di muka saya. []