DI antara kita mungkin banyak yang bertanya mengenai madzhab. Jika saat ini umat Islam ramai dalam bermadzhab, bagaimanakah para sahabat nabi bermadzhab pada zaman dahulu?
Nah, para sahabat Nabi SAW tidak bermadzhab, kenapa? Karena sumber syariah sudah ada di depan mata mereka, hidup bersama mereka, berdialog langsung dengan mereka. Lalu dimana kegunaan madzhab jika sumber itu sendiri sudah jelas depan mata? toh karena memang madzhab itu ada disebabkan rentan waktu yang berjarak ke masa Nabi SAW dan kesulitan memahami teks-teks syariah yang ada. Zaman sahabat, mereka semua tinggal bertanya langsung kepada sumbernya.
Akan tetapi coba lihat bagaimana keadaan para sahabat setelah Nabi SAW wafat, apakah semua mereka jadi ulama dan mujtahid? Tidak! Diantara mereka ada orang awamnya juga yang kemudian mereka itu bertanya tentang masalah-masalah agama yang bagi mereka masih membingungkan kepada tokoh-tokoh sahabat yang memang dikenal sebagai orang ‘Alim dan dianggap paling mengerti terhadap wahyu juga maksud sabda Nabi SAW.
Ketika tokoh-tokoh sahabat (seperti 4 Khulafa al-Rasyidin, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Abdullah bin Zaid, Zaid bin Tsabit dll) itu ditanya tentang suatu masalah oleh Awam Sahabat, mereka langsung menjawab pertanyaan itu. Mereka tidak menolak pertanyaan tersebut dengan mengatakan: “anda kan sahabat Nabi, hidup bersama dan mendengarkan wahyu, kalau begitu ijtihad saja sendiri!”. Tidak! Tidak ada jawaban seperti itu.
Itu artinya memang awam-awam sahabat pun beragama dan beribadah melalui pemahaman tokoh-tokoh sahabat ‘alim tersbut; karena memang sang awam sadar diri bahwa mereka tidak mengerti dan mereka juga punya tuntutan untuk menjaga ajaran agama ini dengan tidak sok-sok-an langsung berhukum tanpa merujuk kepada para tokoh-tokoh sahabat itu.
Dengan kata lain, tokoh-tokoh itulah jalan (madzhab) para awam. Dan apa yang dilakukan oleh awam sahabat tersebut, sama seperti yang kita lakukan saat ini ketika beribadah dengan jalan (madzhab) ulama-ulama dan imam-imam madzhab mulia tersebut.
Dan karena memang mereka mengambil jalan beribadah itu melalui para tokoh-tokoh sahabat tersebut, sudah barang tentu perbedaan menjadi sesuatu yang niscaya terjadi. Dan itu yang kita saksikan, bahwa di kalangan sahabatpun ada perbedaan.
Tapi dahsyatnya, perbedaan itu tidak membuat sahabat satu sama lain saling menuding dan menunjuk hidung sahabat lain bahwa kesalahan ada pada tertunjuk. Tidak! semua aman dan mesra. Dan itu juga yang akhirnya diwariskan kepada ulama-ulama madzhab yang ada, sehingga tidak pernah kita saksikan ada permusuhan antara ulama madzhab walaupun ada perbedaan diantara mereka.[]
Sumber: rumahfiqih.com