Oleh: Alim Witjaksono
Aktivis kemanusiaan dan penikmat sastra milenial Indonesia, juga menulis esai dan prosa di berbagai media luring dan daring
iyusrustamalim@gmail.com
TADINYA, Said bin Amir hanya rakyat biasa seperti kita. Ia memiliki keberanian mengkritisi sikap para sahabat Nabi lainnya, termasuk sikap politik Umar bin Khattab ketika diangkat menjadi pemimpin (khalifah). Dulu, ia tergolong sahabat Nabi yang berada di baris depan dalam menyokong perjuangan kaum muslimin. Namun, ketika Rasulullah wafat, kemudian berganti dengan Abu Bakar dan Umar, Said bin Amir melihat adanya gelagat Islam politik yang mewarnai kekisruhan dan kegaduhan di beberapa wilayah. Akhirnya, ia memilih undur-diri dan tak mau lagi berurusan dengan dunia politik.
Ketika Umar bin Khattab naik di tampuk kekuasaan, Said bin Amir merasa gembira seakan melihat seberkas sinar terang pada sikap dan kepribadian Umar yang tegas. Pada tahun-tahun sebelumnya, setelah hijrah mengikuti rombongan Nabi ke Madinah, Said dikenal proaktif pada kebijakan maupun keputusan politik Rasulullah yang tak lepas mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah secara adil. Bahkan, dalam kebijakan-kebijakan soal perang dan pertempuran sekalipun.
Sebagaimana Umar, khalifah sebelumnya Abu Bakar juga mengenal kecerdasan dan ketangkasan Said bin Amir. Kedua sahabat itu selalu mendengar petuah dan arahan yang disampaikan Said sebagai orang yang jenius, taat, penuh perhitungan dan pandai mengukur risiko. Setelah Umar bin Khattab dilantik, ia mendatangi kediamannya seorang diri seraya memberi nasehat kepada Khalifah yang terpilih: “Wahai Umar! Pusatkan perhatianmu kepada rakyat yang telah memilih dan mempercayaimu. Cintailah mereka seperti engkau mencintai dirimu dan keluargamu. Tolaklah kesenangan pada sesuatu, sebagaimana keluargamu menolak kesenangan yang bisa menggelincirkan hidupmu.”
Sikap zuhud dan kesederhanaan Said memang sudah pembawaan pada dirinya, bukan semata-mata retorika politis belaka. Suatu waktu, Umar bin Khattab memanggil Said untuk sebuah keperluan. Mereka membicarakan gelagat Bani Umayah yang cenderung ambisius di dunia politik praktis, hingga Umar menghendaki sistem pemerintahan dikelola oleh figur-figur yang sederhana dan bersahaja (zuhud).
BACA JUGA: 5 Gelar Umar bin Khattab di Kalangan Muslim
Sebagai pemimpin dan khalifah, Umar memanfaatkan hak vetonya untuk menggeser posisi Mu’awiyah (selaku gubernur Damsyik) serta menggantikannya dengan Said bin Amir. Namun di sisi lain, meskipun memiliki keutamaan, nama Said bin Amir kurang dikenal luas di kalangan rakyat biasa, termasuk kaum muslimin di Madinah. Ia hanya seorang bersahaja yang dikenal oleh para sahabat sekeliling Nabi saja. Sebagai pendatang Muhajirin yang miskin, ia cenderung introvert, penyendiri dan enggan menonjolkan diri.
Khalifah Umar seketika menerima banyak protes dan kritikan dari orang-orang yang kurang kompeten. Ia memanfaatkan kewenangannya untuk bersikukuh membela pelimpahan yang telanjur dia putuskan atas diri Said bin Amir: “Boleh saja kalian tidak mengenal Said bin Amir, tetapi Allah dan para malaikat sangat mengenal tipikal orang semacam dia!”
Ternyata, cobaan yang dihadapi Umar bukan saja dari lawan-lawan politiknya, melainkan sebaliknya, dari pihak Said dan kerabatnya juga telah mengemukakan penolakannya untuk dipilih selaku gubernur Damsyik, “Tolong jangan bebani saya dengan ujian seberat ini, wahai Umar,” ujar Said.
Sontak Khalifah Umar bangkit dari tempat duduknya, dan berkata tegas, “Demi Allah, saya tidak mau menarik keputusan ini, wahai Said! Kalau orang-orang semacam Anda menolak untuk membantu saya, lalu untuk apa kalian semua memilih dan melantik saya dengan amanat kepemimpinan ini?”
Semua diam terhenyak. Tak seorang pun berani menyanggah dan menanggapi pernyataan sang khalifah.
Gubernur zuhud
Tak ada pilihan bagi Said selain menerima jabatan gubernur Damsyik. Ia berangkat bersama istrinya yang cantik, yang masih berstatus pengantin baru. Umar memberikan perbekalan secukupnya, karena mereka berdua memang tidak memiliki uang yang cukup untuk bekal perjalanan ke kota itu.
Setelah beberapa bulan menjabat gubernur, dan secara ekonomi keluarga Said mulai mapan, istrinya mengusulkan agar menabung sebagian dari penghasilan suaminya selaku gubernur.
Namun beginilah jawab sang suami, “Bagaimana kalau kita investasikan sebagian dari penghasilan kita kepada orang lain. Damsyik ini adalah kota yang cukup makmur, perdagangan dan perekonomiannya mulai beranjak naik. Lebih baik kita gunakan uang ini sebagai modal usaha yang kita amanatkan kepada orang lain.”
Lewat perjalanan waktu, uang yang rencananya dipakai modal usaha, dimanfaatkan Said membeli perbekalan kebutuhan keluarganya dalam jangka waktu tertentu. Kemudian sebagiannya, disedekahkan kepada fakir-miskin.
Setelah beberapa bulan berselang, sang istri menangkap isyarat seakan-akan suaminya telah membohongi dirinya. Karena sesungguhnya, Said tak pernah menginvestasikan uangnya kepada siapa pun. Ia hanya tersenyum ketika sang istri mendesaknya agar menjelaskan apa adanya.
“Saya tidak berbohong, wahai istriku,” jawab Said. “Saya telah menginvestasikan uang itu dengan membelanjakannya di jalan Allah, yang tentu keuntungannya akan lebih besar untuk kita berdua di akhirat nanti.”
Sang istri merasa kecewa atas kejujuran suaminya itu. Pada saat demikian, Said merasa tergoda oleh kecantikan istrinya, dan ia mengakui secara jujur bahwa ia sangat mencintainya, serta khawatir akan kehilangan dirinya.
Di tengah kecamuk godaan memenuhi hasrat dan keinginan istrinya, hampir saja ia terjerumus pada gaya hidup mewah dan hedonistik. Namun kemudian, ia berkata tegas mengingatkan sang istri:
“Wahai istriku, saya punya sahabat-sahabat baik yang lebih dulu meninggalkan saya. Saya tidak ingin menyimpang dari jalan mereka, dari jalan yang telah diamanatkan Rasulullah, Abu Bakar, dan para sahabat lainnya. Kalaupun saya mati saat ini juga, di akhirat nanti akan banyak bidadari cantik yang siap melayani orang-orang baik dan jujur selama hidup di dunia. Kalaupun saya harus memilih, tidak mungkin saya mengorbankan bidadari-bidadari di surga untuk mempertahankan satu wanita di dunia ini. Lebih baik saya meninggalkan yang satu untuk mendapatkan mereka di akhirat kelak!”
BACA JUGA: Wasiat Abu Bakar Sebelum Meninggal Dunia
Sang istri kemudian luluh hatinya. Ia menyadari, tidak ada jalan lain yang membawa maslahat dan kedamaian, selain mengikuti apa-apa yang menjadi pilihan sang suami, yang sejak dulu mengajarkannya agar hidup sederhana.
Inspeksi sang khalifah
Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab mengadakan inspeksi ke seluruh wilayah pemerintahannya. Ketika berkunjung ke kota Damsyik, ia mendengar sebagian penduduk sangat menyukai gaya kepemimpinan Gubernur Said bin Amir. Namun, sebagian lain mempersoalkan serta memberikan kritik tajam.
Umar menampung semua aspirasi masyarakat, lantas mengajukan beberapa catatan yang perlu diketengahkan di hadapan sang gubernur. Di antaranya, sering kali Said melakukan tugasnya ketika matahari sudah tinggi (agak siang). Ia juga tidak terbiasa melayani masyarakat pada malam hari. Dalam satu bulan, kadang-kadang sehari atau dua hari ia meliburkan diri dan tidak mau menemui warga sama sekali. Di samping itu, fisiknya agak lemah, karena beberapa kali ia menangis dan jatuh pingsan, tanpa diketahui sebab musababnya.
Setelah membayangkan sosok gubernur atas keluhan-keluhan warganya, Umar tersenyum lembut. Karena pada prinsipnya, ia memahami tipikal kepemimpinan Said, serta membayangkan gambaran dirinya yang – dalam hal tertentu – tak jauh beda dengan tabiat dan karakter sahabatnya itu.
Umar sudah menebak apa yang menjadi jawaban Said ketika dikonfrontasikan di hadapan bawahannya, guna mempertanggungjawabkan apa-apa yang dipersoalkan mereka. Dan beginilah jawaban Said bin Amir: “Sesungguhnya saya tidak ingin dan tidak suka menyebutkan alasan-alasannya. Mengapa saya mempunyai cara-cara seperti yang telah saya lakukan. Tapi karena didesak kalian dan atas perintah Khalifah Umar, saya akan menjelaskannya, dan semoga Allah mengampuni dan memaafkan langkah-langkah yang saya tempuh selama ini…”
Mengenai ia melakukan tugasnya agak kesiangan, karena keluarganya tidak mampu membayar dan mempekerjakan seorang pelayan atau asisten rumah-tangga. Bagi Said, jasa, ilmu dan kepemimpinan tak terbilang dengan nilai uang, dan ia tak mampu mengukur seberapa besar ia harus membayar jasa seorang pembantu di rumah tangganya. Untuk itu, sejak pagi buta, Said mempersiapkan masakan untuk sarapan keluarganya. Gubernur itu mengaduk tepung sendiri, mengeramnya selama beberapa waktu, kemudian mencetak dan memasak roti untuk sarapan keluarganya.
Mengenai ia tidak mau melayani pada malam hari, karena sebagian dari waktu malamnya dipergunakan untuk keluarga sambil berzikir, mengkhususkan diri beribadah kepada Allah Swt. Kemudian, mengenai dirinya pernah meliburkan diri, karena ia harus mencuci pakaiannya sendiri serta menjemurnya seharian hingga kering.
Selanjutnya, mengenai tiba-tiba menangis dan jatuh pingsan, Said terdiam sejenak, menghela nafas dengan pandangan menerawang jauh. Kemudian, ia menguraikan memori dan ingatannya sewaktu hidup di masa Orde Jahiliyah dulu, ketika ia belum memeluk Islam. Dan ia pun menjelaskan: “Suatu hari seorang sahabat Rasul, Khubaib bin Anshari diarak beramai-ramai di atas tandu. Tubuhnya disiksa dan dicincang hingga tewas. Melihat peristiwa itu, saya hanya berpangku tangan, tak bisa berbuat apa-apa. Seakan-akan saya merasa tega membiarkan sahabat Nabi diperlakukan sewenang-wenang seperti itu. Ketika terlintas dalam ingatan saya, bagaimana orang-orang berbuat zalim dan saya tak punya kewenangan untuk menghentikan rakyat melakukan kezaliman itu, tiba-tiba tubuh saya gemetar dan lunglai, hingga saya terjatuh tak sadarkan diri.”
BACA JUGA: Mahar Abdurrahman bin Auf untuk Menikah, Emas Seberat Biji Kurma
Setelah memberikan penjelasan tersebut, Said berlinangan air mata hingga membasahi wajahnya. Umar tak kuasa menahan diri, ia segera merangkul dan memeluk Said sambil berseru dengan gembira, “Rupanya benar firasatku. Berkat taufik Allah, selama ini saya tidak salah memilih… subhanallah, ya, saya tidak salah memilih Anda sebagai Gubernur di sini….”
Bantuan dari negara
Lewat perjalanan waktu, beberapa pejabat tinggi Madinah mengusulkan, meskipun kehidupan Said bin Amir begitu zuhud dan bersahaja, setidaknya para kerabatnya, atau paling tidak, pihak keluarga dan saudara istrinya, perlu diberi tunjangan untuk kemakmuran dan kesejahteraan mereka. Demikianlah hingga Khalifah Umar mengajukan usulan tersebut.
“Apa yang mereka maksudkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan?” tolak Said, “Tolong jangan paksakan saya untuk memiliki persepsi yang sama tentang makna kemakmuran hidup.”
Apa yang dinyatakan Said dapat dipahami oleh pemimpin sekalas Umar bin Khattab. Said mengemukakan pernyataan religius yang sulit dipahami oleh para politisi dan penguasa di zaman hiper modern sekarang ini.
Meskipun kemudian, Umar tetap pada keputusannya mengirim tim delegasi dari Madinah ke Damsyik, agar mencatat orang-orang miskin yang layak menerima bantuan. Beberapa hari kemudian datanglah para delegasi itu, setelah lengkap daftar nama-nama yang layak menerima bantuan dari pemerintah pusat. Sang ketua memberitahukan Khalifah Umar perihal adanya satu penduduk miskin di Damsyik yang belum tercatat dalam daftar tersebut.
“Lho? Kenapa kalian tidak catat?”
“Dia menolak untuk dicatat, wahai Amirul Mukminin.”
“Apakah dia punya banyak kebun?”
“Dia tidak punya sama sekali.”
“Mungkin punya simpanan uang?”
“Sama sekali tidak. Karena itu, semestinya dia juga tercatat ke dalam daftar yang layak menerima bantuan dari pemerintah pusat.”
“Lalu, kenapa kalian tidak catat?”
“Orang itu adalah gubernur sendiri, Said bin Amir.”
Sang khalifah tersentak kaget, ia menghempaskan punggungnya lunglai di atas kursi kekuasaan. []