DUNIA kuliner menjadi cita rasa tersendiri dalam sebuah kebudayaan. Hampir di semua kebudayaan yang ada di dunia, kuliner khas turut ‘terhidang’ bersamanya dalam catatan sejarah. Demikian juga dalam sejarah peradaban Islam.
Rupa-rupa masakan berkembang pada masa pemerintahan Islam. Para juru masak berpacu melahirkan jenis masakan baru. Kemudian, dituliskan dalam wujud sekumpulan karya, dan menjadi warisan peradaban Islam. Tradisi kuliner pun berkembang bersama berkembangnya tradisi ilmiah dalam dunia Islam.
Baghdad merupakan pusat tradisi kuliner muslim pada masa gemilangnya. Ini tentu tak lepas dari kedudukannya sebagai ibu kota kekhalifahan. Kota besar ini menjadi tujuan para pendatang, ilmuwan, serta pedagang dari berbagai negeri. Mereka turut membawa berbagai resep maupun bahan masakan dari tempat asal masing-masing.
BACA JUGA:Â Warisan Kerajaan Islam di India: Falooda, Kuliner Paling Dicari setiap Musim Panas
Beberapa faktor mampu menunjang pesatnya perkembangan tradisi tersebut. Menurut Philip K Hitti dalam History of the Arabs, salah satu faktornya adalah selera tinggi para bangsawan terhadap makanan. Untuk memenuhinya, para juru masak harus pandai berkreasi dengan bermacam bahan makanan.
Lahirnya revolusi pertanian di dunia Islam ikut berpengaruh. Petani dan ilmuwan Muslim berhasil mengembangkan beragam jenis tanaman, sayuran dan buah yang sebelumnya bahkan tak pernah dikenal. Selanjutnya, jenis tanaman itu disebarkan ke seluruh wilayah Islam, seperti Mesir, Suriah, Afrika Utara, Spanyol, dan Iran.
Hal lainnya adalah tuntunan agama untuk menjaga kesehatan tubuh. Dalam hadisnya, Rasulullah SAW memberi pedoman agar seorang Muslim menyantap makanan yang bergizi dan halal. Tak heran, pada setiap hidangan, maupun resep yang disusun, tak hanya menekankan pada aroma lezat, tetapi juga memenuhi kriteria kesehatan.
Racikan makanan tak bisa dibuat secara sembarangan. Sebelumnya, harus melalui penelitian ahli gizi. Pilihan bahan baku makanan dan bumbu masakan benar-benar dijaga kualitas maupun kandungan gizinya. Dan pada akhirnya, bidang kuliner ini mau tak mau melibatkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu.
Buku tentang makanan dan resep makanan yang ditulis para ahli di bidang ini menggambarkannya dengan jelas.
BACA JUGA:Â 7 Museum Makanan di Seluruh Dunia Ini Hadirkan Wisata Budaya Sekaligus Wisata Kuliner
Kitab al-Tabikh yang ditulis Ibnu Sayyar al-Warraq di Baghdad pada abad ke-10, mengaitkan kuliner dengan ilmu pengetahuan. Dikisahkan, para juru masak telah berkesadaran mengenai fungsi makanan bagi kesehatan dan tubuh. Mereka mengikuti saran-saran para dokter dan pakar soal diet. Dalam konteks ini, Kitab al-Tabikh dipandang sebagai buku masakan paling komprehensif pada masanya. Dalam menyusun bukunya, Ibnu Sayyar mengumpulkan berbagai resep masakan hasil kreasinya, dan dikombinasikan dengan hidangan yang populer pada masa itu.
Tak hanya soal resep, ia pun menerangkan dengan jelas mengenai bahan masakan, bumbu, cara memasak hingga aroma dan cita rasa dari setiap masakan. Selain itu, buku tersebut mencantumkan sejumlah juru masak hebat yang bekerja di istana khalifah dan bangsawan saat pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Ibnu Sayyar, misalnya, menyebut seorang juru masak perempuan bernama Bid’a. Ia ditarik ke istana karena memiliki keterampilan yang tinggi. Ia sanggup menyajikan aneka sajian lezat, bercita rasa tinggi, sekaligus bergizi. Ia sangat mahir dalam membuat dan menyajikan sikbaj, yaitu daging domba yang dimasak dengan minyak zaitun. Selain itu, menyajikan bawarid, sejenis minuman ringan, menjadi kelihaian lain Bid’a di dapur istana kekhalifahan.
Nama lain yang disebutkan Ibnu Sayyar dalam Kitab Al-Tabikh adalah Abu Ishaq al-Mahdi, yang tak lain adalah seorang pangeran Dinasti Abbasiyah. Di samping mahir memasak, al-Mahdi pun dikenal sebagai sastrawan serta musisi andal.
Al-Mahdi tergolong sosok yang mula-mula membukukan resep masakan yang dibuatnya. Sejumlah masakan buatannya adalah ashiqa, narjissiya, dan bustaniyya. Dengan kemampuannya ini, ia berbeda dibandingkan anggota keluarga lainnya. Sebab, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di dapur. Dapur istana menjadi ruang utama dalam mengembangkan potensinya. Ia banyak bereksperimen dalam membuat masakan, mencoba bahan-bahan makanan baru, dan kemudian ia tulis dalam sebuah resep masakan.
Dengan memuat lengkap mengenai masakan dan para juru masak, Kitab al-Tabikh menjadi rujukan yang amat baik di Timur maupun Barat.
Buku lainnya yang membahas tentang perkembangan kuliner berjudul Tadhkira, karya Dawad al-Antaki yang ditulis pada abad ke-13 Masehi di Suriah. Ada pula Wasla al-Habib fi Wasf al-Tayyibat wa Tibb, yang disusun oleh Ibnu A’dim pada abad yang sama. Selain itu, muncul buku Kanz al-Fawa’id fi Tanwi’ al-Maw’id, karya seorang juru masak dari Mesir.
BACA JUGA:Â Ukha, Kuliner Halal Khas Rusia, Mau Coba?
Dari Andalusia, Ibnu Razin menulis Fadhalat al-Khiwan fi Atayyibat at-Ta’am wa al-Alwan pada abad ke-12 Masehi. Buku lain dari Andalusia adalah Kitab al-Tabikh fi al-Maghrib wa al-Andalus. Muncul pula buku yang berjudul sama dengan yang ditulis Ibnu Sayyar, Kitab al-Tabikh, penulisnya adalah Mohammed al-Baghdadi.
Resep-resep masakan yang termuat dalam buku-buku itu, semula hanya beredar di lingkungan istana, sebelum kemudian dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Banyak sajian makanan yang benar-benar menambah kekayaan masakan di dunia Islam. Misalnya, dua jenis hidangan berbahan sayuran, yaitu sup dan salad.
Al-Razi, sang ilmuwan, menganjurkan untuk mengonsumsi dua masakan itu karena kandungan gizi dan vitaminnya yang tinggi. Jenis lainnya, pasta yang pertama kali dikonsumsi oleh umat Islam.
Kenikmatan saat menyeruput secangkir kopi pun telah dirasakan oleh penduduk di Yaman sejak abad 10. Warga setempat mengenal racikan minuman ini dengan nama al-Qahwa. Setelah itu, kopi menyebar ke Mesir, Damaskus, Andalusia, Baghdad, serta ke benua Eropa.
Pada masa Turki Usmani, tradisi kuliner pun mengalami perkembangannya sendiri. Banyak resep yang lahir dari kepiawaian para juru masak istana. []
SUMBER: IHRAM