SAKIT itu berawal dari sehat. Jika kita sehat hari ini, maka bersiap-siaplah, tidak menutup kemungkinan besok akan sakit. Begitupun kita yang sakit hari ini, boleh jadi esok atau lusa akan menjadi sehat walafiat. Kodrat hidup manusia harus diterima ada adanya. Karena, tidak ada orang yang sehat terus-menerus sepanjang hidupnya, sebagaimana tidak ada orang yang senang dan bahagia melulu di sepanjang kehidupan yang dijalaninya.
Rasulullah menegaskan, bahwa setiap penyakit itu ada obatnya, kecuali jika sudah datang ajal kematian. Sesungguhnya, kematian itu biasa saja, jika kita berpasrah diri pada ketentuan Allah. Yang membuat manusia takut justru karena penolakan dan pengingkarannya pada ketentuan dan keputusan Allah. Wong, kita ini bermula dari tidak ada menjadi ada, dan keberadaan kita di atas permukaan bumi, tak pernah diminta-minta? Kita juga tak punya kewenangan untuk memilih lahir dari siapa, kapan dan di negeri mana.
Bahkan, kita pun sulit mengingat masa-masa sembilan bulan di dalam perut ibu. Meskipun, dalam tempo sembilan bulan itu nyaris tak ada yang mengeluh depresi atau frustasi karena kekurangan rezeki? Semuanya mutlak dalam ketentuan Allah. Memori manusia terlalu lemah untuk mengingat masa-masa itu. Tinggal terima saja apa yang sudah digariskan dari sononya.
Ya, terimalah keputusan Allah apa adanya. Di saat kita sehat dan berkecukupan (makmur), maka bersyukurlah sebanyak-banyaknya. Dalam kesyukuran itu, nikmat hidup akan terus ditambah dan ditambah lagi oleh Allah. Walaupun kita di tengah guncangan prahara yang maha dahsyat, tetapi bagi ahli syukur, senantiasa ia akan kuat bersabar dalam menghadapi ujian hidup. Bukan berarti orang yang bersyukur itu tidak disuguhi musibah dan malapetaka, terbebas dari prahara, akan tetapi ia terampil menyikapi takdir dan ketentuan Allah dengan tulus-ikhlas.
Kualitas keikhlasan menerima ujian hidup, itulah yang terpenting. Orang yang hatinya ikhlas, ia sangat mahir menakar dan mengukur risiko, serta mampu memenej ruang dan waktunya. Bagi orang ikhlas, dunia sakit, kekurangan dan kesempitan hidup itu hanyalah soal “giliran” saja. Bagaimana mungkin kita menolak kesempitan hidup yang pasti datang menimpa siapapun. Bahkan, Rasulullah yang maksum, serta para waliullah dan segenap alim-ulama senantiasa dipergilirkan pula nasib hidupnya.
BACA JUGA: 3 Makna Sakit dalam Islam
Kualitas ibadah
Ada orang yang mengeluh di hadapan Tuhan, sambil berdoa dengan suara merintih: “Ya, Allah, saya sudah rajin ibadah… salat lima waktu sehari… tapi kenapa saya diberi cobaan yang begini berat, ya Allah…?”
Ketahuilah, tidak ada cobaan berat yang melebihi kesanggupan manusia untuk memikulnya. Setiap cobaan dan ujian hidup sudah diukur dengan kemampuan dan kesanggupan kita dalam mengatasinya. Hanya masalahnya, kita terampil atau tidak dalam memahami dan memaknai cobaan hidup itu. Jangan sampai pengalaman hidup dijalani, dilupakan, dilewati begitu saja, tanpa kita sempat mendalami dan merenungkannya sebagai ilmu dan hikmah yang amat berharga.
Juga jangan sampai kualitas salat kita hanya sebatas rasa takut pada neraka, cari keuntungan dunia semata, tapi teruskan kualitas salat dan ibadah itu karena rasa syukur kepada Allah Sang Pencipta. Bukankah Rasulullah yang dijamin masuk surga, masih melakukan salat, terlebih setelah usia 52 tahun setelah peristiwa Mi’raj? Lalu, ketika seorang sahabat mengajukan pertanyaan kritis dan reflektif, untuk apakah salat itu dilakukan bagi hamba yang sudah dijamin surga baginya? Jawaban Rasulullah sangat filosofis: “Bukankah saya ingin dicintai sebagai hamba yang bersyukur?”
Tetapi di sisi lain, bukankah Rasulullah juga – sang nabi akhir zaman itu – pernah mengalami masa-masa sakit, kesulitan ekonomi, kekurangan bahan pangan, terluka dan berdarah-darah, bahkan giginya tanggal saat mengalami kekalahan perang? Bagaimana mungkin kita sebagai hamba yang kualitas moralnya seperti ini, ingin selalu menang di atas, serba makmur, sehat dan lapang selalu? Kira-kira dong!
Seberapa saleh dan alim seorang manusia, ia pasti akan dihadapkan pada takdir gilirannya yang serba fluktuatif. Kadang di atas kadang di bawah, kadang makmur kadang bangkrut, kadang senang kadang sedih, kadang lapang kadang sempit. Bahkan, hidangan makanan lezat yang terhampar di depan mata, termasuk wanita secantik apapun yang akan melayani, tidak ada nilainya sama sekali jika manusia sedang dirundung duka dan nestapa, badan meriang, nafsu makan tidak ada, tahu-tahu sudah pikun, gigi keropos dan umur menua.
Lalu, apa yang dibanggakan dari kehidupan glamor dan kemegahan duniawi yang hanya sesaat dan sekejap mata ini? Apa arti kekayaan dan kekuasaan duniawi, jika kita salah-kaprah dalam mengelola dan memanfaatkannya?
Seorang khalifah dan sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib, pernah mengirim surat kepada Malik bin Harits al-Asytar (655 M) yang diangkat sebagai pejabat tinggi di provinsi Mesir: “Wahai Malik, saat ini kau menjabat Gubernur pada suatu provinsi (Mesir) yang dalam sejarahnya pernah berganti-ganti kekuasaan selama berabad-abad, baik pemerintahan baik maupun yang buruk. Sebagai penguasa baru, saat ini gerak-gerikmu sedang diperhatikan rakyat, sebagaimana kamu pernah memerhatikan pemerintah sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan cermat dan teliti, sebagaimana kamu pernah mengawasi pemerintah sebelummu dengan cermat dan teliti juga.”
Lalu, kemudian Saydina Ali memberikan peringatan tentang akhir dari tipikal pemimpin adil yang akan menorehkan tinta emas. Sementara, pemimpin yang lalim dan sewenang-wenang pasti akan tergerus oleh catatan sejarah yang kelam. Semuanya itu akibat dari pilihan-pilihan tentang kebijakan yang dibuatnya, apakah sang pemimpin mampu berkomunikasi dan terhubung dengan keadilan rakyat dan kebesaran Tuhan. Ataukah, dia hanya mementingkan citra-diri agar dipandang mulia oleh kelompoknya, dengan mengesampingkan kemuliaannya di mata Tuhan?
Takdir
Seperti halnya nasib hidup manusia, setiap wilayah dan kekuasaan memiliki takdir dan nasib hidupnya sendiri. Tidak selalu berada di atas dan juga tidak selalu berada di bawah. Begitupun yang dialami oleh takdir kepemimpinan Rasulullah, baik di Mekah maupun Madinah. Selalu mengalami pasang-surut, sebagai bagian dari kodrat hidup yang mutlak ditentukan Allah Yang Memiliki hak prerogatif atasnya.
Dekadensi moral atau gonjang-ganjingnya kekuasaan, bahkan dialami oleh para sahabat Nabi sendiri, terlebih di era penolakan kaum Khawarij atas kepemimpinan Ali maupun Muawiyah. Sentimen rasial dan primordialisme telah mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman dan Ali sendiri, hanya karena perebutan kekuasaan dan kekayaan yang bersifat duniawi semata. Hal itu terus berlanjut pada nasib tragis yang dialami oleh Husein, cucu Rasulullah yang sangat dicintainya.
BACA JUGA: Sebuah Kisah tentang Yusuf
Tetapi, akal sehat manusia dapat mudah membaca, mana yang benar dan mana yang salah. Orang bisa dibutakan oleh hasrat dan ambisi duniawi, hingga kehilangan nurani dan akal sehatnya. Pada saat akalnya sakit, manusia tak mampu menakar dan mengukur risiko. Dikira kehidupan duniawi ini bersifat kekal dan abadi. Padahal, negeri akhirat-lah yang menjadi tujuan hidup yang abadi dan sejati. Tetapi, mengapa kebanyakan orang justru berani dan nekat mengorbankan yang kekal, hanya untuk kepentingan yang sekejap dan sesaat belaka?
Oleh karena itu, terimalah sakit dan kesempitan hidup, jika itu sudah menjadi garis ketentuan Allah. Semahal apapun obat yang sanggup kalian beli. Sebanyak apapun dukun dan orang pintar yang kalian bayar. Untuk apa memaksakan kehendak pada sesuatu yang tak mampu kita tentukan takdirnya sama sekali, sekeras apapun kita berusaha untuk bangkit? Sekuat apapun impian dan imajinasi kita untuk bernafas dan bergerak? Pada waktunya mati, kita semua akan mati, sebagaimana Rasulullah dan para pendahulu kita pun senantiasa wafat juga.
Tubuh kita ini hanyalah cangkang telur yang rapuh dan mudah retak dan hancur. Darah-daging kita hanyalah buah-buah mangga yang mudah keropos digerogoti ulat dan belatung. Manusia itu makhluk yang lemah, mudah lupa dan sarat kekhilafan. Apa yang mau dibanggakan dengan keangkuhan intelektual, kekayaan maupun kekuasaan dalam kehidupan yang serba fana dan sementara ini?
Apa yang dibanggakan dari banyaknya jumlah ibadah, kalau kualitasnya rendah? Bukankah manusia sehat, lapang dan murah rezeki, bahkan masuk surga, pada hakikatnya karena cinta dan kasih sayang Allah kepadanya? Jadi, kualitas keikhlasan harus senantiasa ditingkatkan, apapun dan seberapa pun pemberian Allah kepada kita selaku makhluk-Nya.
Jangan sampai kita sibuk menggerutu dan memprotes, bagaikan seorang guru yang menyoal dirinya, mengapa Tuhan memasukkannya ke dalam surga yang lebih rendah ketimbang murid-muridnya? Dia menggugat Tuhan dan menuntut-Nya agar menimbang amal-amal kebaikannya. Ternyata setelah ditimbang ulang, kualitas ibadah yang dilakukan selama puluhan tahun di dunia, tidak punya arti apa-apa ketimbang banyaknya kesalahan dan keburukan yang telah dia lakukan semasa hidupnya.
BACA JUGA: 3 Keutamaan Menjenguk Orang Sakit, Salah Satunya Mendapat Tempat Tinggal Surga
Orang-orang bijak dan saleh, selalu memperingatkan kita agar berhati-hati. Sebab, bersyukur dengan baik di saat lapang, jauh lebih berat ketimbang berusaha untuk sabar di saat sempit. Kesombongan dan keangkuhan senantiasa mengincar hidup manusia ketika dalam posisi kelapangan dan kemegahan. Melebihi orang-orang yang banyak mengeluh dan menggerutu di saat dalam posisi kesempitan.
Untuk Anda yang sedang ditimpa musibah, maka bersabarlah. Kuatkan terus kesabaran Anda, sampai kemudian Allah memutuskan hasil akhirnya. Lalu, berpasrahlah dengan hasil akhir yang merupakan ketentuan yang sudah digariskan itu. Dan bagi Anda yang sedang sehat dan hidup lapang, maka bersyukurlah, dan manifestasikan rasa syukur itu dengan berzikir dan bertasbih (salat), serta berbagi dan mengulurkan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan, terlebih kepada keluarga dan saudara-kerabat sendiri.
Solusi itulah yang diajarkan Islam dan disampaikan Rasulullah, sampai pada akhirnya kita semua akan berpulang dan berpasrah diri pada ketentuan dan keputusan Allah Yang Maha Memiliki segalanya. Bahkan, hanya Dia Yang Memiliki kita semua. Kepada siapa lagi kita akan kembali, kecuali hanya kepada-Nya? (*)