SAAT berusia 12 tahun, Muhammad bin Abdullah bersama pamannya Abu Thalib bertolak ke Syam untuk berdagang. Muhammad waktu itu bertemu dengan seorang pendeta Nasrani Buhaira yang meramalkan soal kenabiannya.
Seperti diceritakan oleh Muhammad Ibnu Jarir Al-Tabari—seorang ahli tafsir ternama—Muhammad kecil dan pamannya kala itu melintasi sebuah padang gurun yang kini menjadi wilayah Yordania.
Di padang gurun itu terdapat sebuah pohon besar yang sangat rindang, tidak ada pepohonan lain yang tumbuh di sana selain pohon ini.
Pohon tersebut kemudian menjadi lokasi peristirahatan kafilah dagang—dimana di antaranya terdapat Abu Thalib dan sang keponakan Muhammad bin Abdullah. Pendeta Buhaira kemudian menyaksikan kemuliaan kafilah dagang dari hijaz ini, yang selalu dilindungi awan dalam perjalanannya.
Kafilah dagang tersebut lalu dijamu di biara Buhaira, sementara Muhammad bin Abdullah berteduh di pohon tersebut. Seketika itu cabang-cabang pohon dan ranting menaungi dibawahnya. Menyaksikan keajaiban ini, Buhaira kagum. Dari biaranya, Buhaira yang sedang menjamu para kafilah dari Hijaz ini bertanya kepada Abu Thalib.
“Apakah anda adalah orang tua anak tersebut?” Abu Thalib menjawab, “Iya saya ayahnya, karena ayah sebenarnya telah meninggal dunia.” Pendeta Buhaira kemudian berpesan, “Jagalah anak ini, karena ia akan menjadi Nabi selanjutnya.”
Kini Pohon itu dijuluki Pohon Sahabi, karena ia menjadi satu-satunya saksi kerasulan Muhammad yang masih hidup hingga kini. Bahkan kini pohon tersebut menjadi satu-satunya pohon yang tumbuh di gersangnya padang tandus di sekitarnya.
Pohon berusia 1400 tahun itu oleh Raja Abdullah II dari Yordania disebut sebagai ‘The Blessed Tree’ atau Pohon yang diberkahi Allah. Pemerintah Yordania saat ini memagari area sekitar pohon sebagai tanda bahwa pohon Sahabi ini merupakan saksi sejarah ramalan kenabian dari seorang pendeta Nasrani Buhaira. []
Sumber: Republika.