SEBAGIAN orang di zaman ini, saat ditanya tentang suatu masalah fiqh, dia menjawab : “Bahwa yang tampak bagi saya, atau yang rajih (kuat) bagi saya, hukumnya demikian dan demikan”….Dia berfikir sendiri lalu membuat kesimpulan sendiri berdasarkan sebagian kecil wawasan yang dia miliki dari beberapa sumber. Lalu jawaban itu dia sandarkan kepada dirinya.
Ketika ditanya, dari mana kesimpulan anda tersebut ? Maka dia menjawab : “Aku telah berijtihad. Jika benar aku dapat dua pahala, dan jika salah aku dapat satu pahala.” Lalu dia membawakan hadits nabi ﷺ yang berbunyi :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ
BACA JUGA: Pintu Ijtihad
“Apabila seorang hakim menghukumi suatu masalah lalu dia berijtihad kemudian dia benar, maka dia mendapat dua pahala. Apabilia dia menghukumi suatu masalah lalu berijtihad dan dia salah, maka dia mendapatkan satu pahala.”[HR. Muslim : 1716 dari Amer bin Al-Ash].
Ini sebuah kekeliruan yang fatal. Hadits di atas hanya berlaku bagi para ulama yang mencapai derajat mujtahid atau memiliki ahliyyah (kemampuan) untuk itu. Adapun mereka yang tidak sampai derajat itu, baik dia orang awam ataupun penuntut ilmu secara umum seperti kita-kita ini, maka tidak berlaku sama sekali. Bahkan akan mendapat dosa karena telah masuk suatu medan yang bukan haknya untuk di situ.
Imam Al-Khathabi –rahimahullah- (w. 388 H) menyatakan :
وهذا فيمن كان من المجتهدين جامعاً لآلة الاجتهاد عارفاً بالأصول وبوجوه القياس. فأما من لم يكن محلاً للاجتهاد فهومتكلف ولا يعذر بالخطأ في الحكم بل يخاف عليه أعظم الوزر
“Hadits ini berlaku hanya bagi mereka yang termasuk para ulama ahli ijtihad, yang mengumpulkan seluruh piranti-piranti ijtihad, mengerti akan ilmu ushul fiqh, serta bentuk-bentuk qiyas. Adapun seorang yang tidak pada posisi sebagai ulama untuk melakukan ijtihad, maka dia telah memberat-beratkan diri serta tidak diberi udzur dengan kesalahan yang dia lakukan dalam memetik sebuah hukum, bahkan dikhawatirkan dia mendapatkan dosa yang lebih besar.” [Ma’alim Sunan : 4/160].
Imam An-Nawawi –rahimahullah- (w. 676 H) juga menyatakan :
قَالَ الْعُلَمَاءُ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ فِي حَاكِمٍ عَالِمٍ أَهْلٍ لِلْحُكْمِ فَإِنْ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ أَجْرٌ بِاجْتِهَادِهِ وَأَجْرٌ بِإِصَابَتِهِ وَإِنْ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ بِاجْتِهَادِهِ …فَأَمَّا مَنْ لَيْسَ بِأَهْلٍ لِلْحُكْمِ فَلَا يَحِلُّ لَهُ الْحُكْمُ فَإِنْ حَكَمَ فَلَا أَجْرَ لَهُ بَلْ هُوَ آثِمٌ وَلَا يَنْفُذُ حُكْمُهُ سَوَاءٌ وَافَقَ الْحَقَّ أم لا لأن إصابته اتفاقية لَيْسَتْ صَادِرَةً عَنْ أَصْلٍ شَرْعِيٍّ فَهُوَ عَاصٍ فِي جَمِيعِ أَحْكَامِهِ سَوَاءٌ وَافَقَ الصَّوَابَ أَمْ لَا وَهِيَ مَرْدُودَةٌ كُلُّهَا وَلَا يُعْذَرُ فِي شئ مِنْ ذَلِكَ
BACA JUGA: Pujian dan Celaan, Termasuk Perkara Ijtihadi
“Para ulama menyatakan : “Ulama muslimin telah sepakat, sesungguhnya hadits ini untuk seorang hakim yang benar-benar mengerti dan ahli dalam masalah hukum agama (maksudnya : ulama mujtahid). Maka (orang yang seperti ini) jika benar, dia mendapatkan dua pahala, pertama pahala untuk ijtihadnya, dan kedua pahala untuk kebenarannya. Jika salah, maka dia mendapatkan satu pahala untuk ijtihadnya….Adapun seorang yang tidak ahli dalam hukum agama (bukan mujtahid), maka haram baginya untuk menghukumi suatu masalah. Jika dia menghukumi, maka tidak ada pahala baginya, bahkan dia telah berdosa dan hukumnya tidak berlaku, baik mencocoki kebenaran ataupun tidak. Karena kebenarannya, hanya bersifat kebetulan, tidak bersumber dari asal yang syar’i. Maka dia seorang yang berdosa dalam seluruh hukum (yang dia hasilkan), baik mencocoki kebenaran ataupun tidak. Maka hukum-hukum (yang dia hasilkan) tertolak semuanya dan tidak diberi udzur sedikitpun dari hal itu.” [Syarh Shahih Muslim : 12/14].
Keterangan di atas menunjukkan akan pentingnya seorang bermadzhab dengan salah satu dari madzhab yang empat, terkhusus madzhab Syafi’i sebagai madzhab terbesar yang dianut di negeri kita. Dengan bermadzhab, kita tinggal memakai dan mengamalkan berbagai masalah keagamaan hasil ijtihad para ahlinya. Kita hanya sekedar menukil, tidak lebih dan tidak kurang. Dengan demikian, kesalahan ataupun penyimpangan dalam memahami agama ini dapat diminimalisir. Karena kita bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa. Sekian. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani