Faidah ringan:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata :
وسئل فضيلة الشيخ: عن حكم المصافحة في المسجد حيث اعتاد كثير من الناس ذلك بعد الصلاة؟ فأجاب فضيلته قائلاً: هذه المصافحة لا أعلم لها أصلاً من السنة أو من فعل الصحابة – رضي الله عنهم – ولكن الإنسان إذا فعلها بعد الصلاة لا على سبيل أنها مشروعة، ولكن على سبيل التأليف والمودة، فأرجو أن لا يكون بهذا بأس، لأن الناس اعتادوا ذلك.أما من فعلها معتقداً بأنها سنة فهذا لا ينبغي ولا يجوز له، حتى يثبت أنها سنة، ولا أعلم أنها سنة.
Soal: “Asy-Syaikh yang mulia ditanya tentang hukum salaman di masjid setelah sholat dimana hal itu telah jadi adat kebanyakkan manusia?
Jawab: Salaman ini, aku tidak mengetahui asalnya (dalilnya) dari sunnah atau dari perbuatan para sahabat –radhiallohu ‘anhum-. Akan tetapi, apabila manusia melakukannya setelah sholat tidak di atas keyakinan bahwa hal itu disyari’atkan, akan tetapi sebagai bentuk rasa kasih sayang dan kecintaan, maka aku berharap hal ini tidak mengapa (boleh). Karena manusia telah menjadikan hal itu sebagai adat (kebiasaan). Adapun jika seorang melakukannya dalam kondisi menyakini sesunggunya hal itu sunnah, maka ini tidak seyogyanya dan tidak boleh, sampai tetap sesungguhnya hal itu sunnah. Dan aku tidak mengetahui sesunggguhnya hal itu sunnah.”
BACA JUGA: Bagaimana Cara Menolak Salaman dengan Non Muhrim?
[ Majmu’ Fatawa wa Rasail fadhilatusy syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- : 13/287 no : 581]
Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata:
وَأَمَّا مَا أَعْتَادَهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَلَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرْعِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهِ فَإِنَّ أَصْلَ الْمُصَافَحَةِ سُنَّةٌ وَكَوْنُهُمْ خَصُّوهَا بِبَعْضِ الْأَحْوَالِ وَفَرَّطُوا فِي أَكْثَرِهَا لَا يُخْرِجُ ذَلِكَ الْبَعْضَ عَنْ كَوْنِهِ مَشْرُوعَةً فِيهِ
“Adapun apa yang telah dijadikan adat/kebiasaan manusia berupa salaman setelah sholat Subuh dan Ashar, maka tidak ada asalnya (dalilnya) di dalam syari’at di atas bentuk yang seperti ini. Akan tetapi tidak mengapa (boleh). Sesungguhnya salaman, adalah perkara yang disunnahkan. Kondisi mereka mengkhususkannya di sebagian kondisi dan berlebih di kebanyakkannya, tidaklah sebagian itu mengeluarkan dari kedudukannya sebagai sesuatu yang disyari’atkan di dalamnya.” [ Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 4/634 ].
Saya berkata (Abdullah Al-Jirani):
Kami tidak mengamalkan salaman setelah sholat fardhu secara terus menerus. Akan tetapi, jika kami sholat di suatu masjid yang bukan masjid kami, kemudian kami diajak salaman oleh jama’ahnya, maka kami salami mereka. Karena jika ditolak, sangat berpotensi terjadinya permusuhan dan kebencian serta akan menimbulkan berbagai mudharat yang sangat banyak.
Berlapang dada dalam seperti ini suatu keniscayaan. Jangan sampai kita mudah untuk membid’ahkan dan menvonis pelakunya sebagai ahli bid’ah yang sesat.
Sengaja kami meletakkan fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin terlebih dahulu sebelum An-Nawawi dan Ibnu Abdis Salam, karena ada sebagian pihak yang kurang sreg atau meragukan jika kita menukil ucapan para imam salaf saja. Sehingga sering kali kita didaulat untuk menyebutkan fatwa atau pendapat ulama’ zaman ini. Padahal kita telah menyebutkan berbagai pendapat dari kalangan ulama’ salaf. Jika tidak, maka akan segera ditolak. Ini sebenarnya logika terbalik.
BACA JUGA: Bersalaman Berjamaah selepas Shalat Fardhu, Apa Hukumnya?
Semoga “logika terbalik” ini sedikit demi sedikit bisa segera kembali “normal”. Yang paling utama dan pokok, adalah pendapat-pendapat para ulama’ salaf terlebih dahulu, seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ibnu Hajar, An-Nawawi, Al-Mawardi, dan yang lainnya. Pendapat ulama’ zaman ini, sifatnya sebagai tambahan dari pendapat para ulama’ salaf.
Semoga Alloh merahmati seluruh ulama’ kita yang telah meninggal dan menjaga para ulama’ kita yang masih hidup. Amin ya rabbal ‘alamin. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani