Oleh: Wd Deli Ana
Praktisi PAUD
dnusa2017@gmail.com
“ILMU itu luas, sedangkan umur kita pendek. Oleh karena itu, pilihlah ilmu yang sangat kamu butuh kan bagi agamamu dan tinggalkan yang lain.”
Sungguh untaian kata penuh hikmah. Sarat akan makna yang diungkap salah seorang sahabat Rasul saw. Siapa lagi kalau bukan Salman Al-Farisi. Namanya terukir dalam sejarah sebagai seorang yang tak kenal lelah berjalan menjumput hidayah.
Terlahir di desa Ji’, daerah Isfahan (Persia), 1500 kilometer di sebelah timur laut Madinah. Salman kecil tumbuh sebagai pengikut Majusi yang menyembah api. Maklum saja ayahnya tergolong penganut Majusi yang ditokohkan. Namun fitrahnya yang lurus mengantarkan Salman pada pencarian panjang akan kebenaran.
BACA JUGA: Tiga yang Membuat Salman Al-Farisi Terpingkal-pingkal dan Tersedu-sedu
Berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain ditempuh Salman Al-Farisi tanpa kenal lelah. Semata demi menyerap ilmu dari sang guru.
Sampai saat gurunya yang terakhir menjelang maut berwasiat kepada Salman, “Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui seorang pun yang akan aku perintahkan kamu mendatanginya untuk berguru. Akan tetapi telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan.
“Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di antara kedua bahunya terdapat tanda cincin kenabian. Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!”.
Meski terseok menempuh luasnya hamparan gurun bahkan sempat terpuruk sebagai budak, namun upayanya menemukan Nabi pembawa risalah kebenaran tak sia-sia. Dari Persia sampai di Madinah Salman akhirnya tersungkur mendekap Nabi saw dan masuk dalam pelukan Islam.
Dengan serta merta Salman Al-Farisi menjadi bagian dari sahabat-sahabat Nabi. Mereguk manisnya persahabatan dari cangkir ukhuwah Islamiyah. Saling menolong dan menjaga. Tak segan mengutamakan sahabat ketimbang diri sendiri.
Termasuk yang terjalin di antara Salman Al-Farisi dan Abu Darda’ dari Anshar. Dua orang yang dipersaudarakan di jalan Allah oleh Baginda Rasul saw. Dua sahabat seia- sekata. Sampai suatu ketika Salman dihadapkan pada peristiwa yang menguji keakraban mereka.
Saat itu dalam diam Salman memendam getar rasa pada seorang wanita dari Anshar. Rasa yang mampu membuatnya resah nan gelisah tapi penuh asa. Getaran yang bila ia tak siaga kan bisa membawanya meniti jalan ke neraka. Ia paham hanya pernikahanlah satu-satunya jalan untuk menghalalkannya.
Namun apa daya Salman Al-Farisi adalah pendatang di Madinah. Tentu bahasa menjadi kendala. Harus ada yang menolong sebagai perantara maksudnya. Yang bisa mengutarakan hajat dengan cita rasa Madinah. Salman sudah tahu siapa orangnya. Siapa lagi selain Abu Darda’. Saudaranya dari Anshar yang dia sayangi dan menyayanginya.
Berangkatlah Salman dan Abu Darda’ meminang sang gadis. Mereka berjalan beriringan menuju rumah seorang wanita salihah lagi bertakwa. Di hadapan kedua orang tua si gadis, Abu Darda’ menyampaikan niat baik Salman. Layaknya pinangan maka jawaban dikembalikan pada si gadis.
Berdegup jantung Salman Al-Farisi semakin cepat dalam penantian. Sampai akhirnya meluncur kata demi kata dari ibunda yang mewakili putrinya. “Maafkan kami atas keterusterangan ini. Dengan mengharap ridho Allah, saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda juga memiliki maksud yang sama, maka putri kami bersedia.”
Nyesss… Hati Salman bagaikan tersiram air dingin. Beku. Masih berharap ia salah mendengar. Tak menyangka lamarannya ditolak. Sirnalah asa yang selama ini dipupuk. Salman pun terenyak dalam diam. Tapi tak lama. Kekukuhan imannya mampu membuat Salman tetap tegar berdiri.
BACA JUGA: Salman Al-Farisi Amir yang Sederhana
Dan dengan bibir bergetar menahan luapan rasa, Salman Al-Farisi masih sempat berseru, “Allaahu Akbar!, Semua mahar dan harta yang aku persiapkan hari ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku menjadi saksi pernikahan kalian!”
Betapa luas samudra hati Salman Al- Farisi. Kegagalan tak membuat ia jatuh terpuruk berlarut-larut. Apalagi di sisinya ada sahabat sejati yang beroleh kebahagiaan. Wajah Salman kembali berbinar ikut larut dalam kegembiraan saudaranya.
Bahkan ketika Abu Darda’ berkata dengan gundah, “Aku riskan dan malu padamu atas terjadinya peristiwa ini. ”
Salman Al-Farisi di tengah kesedihannya yang sunyi tetap mampu menghibur, “Aku lebih berhak untuk merasa malu denganmu ,di mana aku yang melamarnya ,sementara Allah memutuskannya untukmu.” []