DARI kota Madain terlihat ada laki-laki yang datang dari Suriah terlihat kelelahan karena memikul buah tin dan kurma. Saat ia sedang istirahat terlihat ada seorang lelaki yang berpenampilan sangat sederhana. Lalu ia meminta tolong padanya untuk membawakan barang bawaannya dengan menjanjikan upah untuknya. Lelaki berpenampilan sederhana itu menuruti perintahnya.
Setelah itu mereka berjalan bersama-sama. Hingga di tengah perjalanan mereka bertemu dengan satu rombongan. Lalu lelaki berpenampilan sederhana itu memberi salam pada mereka. Rombongan itu pun berhenti seraya menjawab, “Wa’alaikum salam, ya Amir.”
BACA JUGA: Akhlak Seorang Salman Al-Farisi
Orang Suriah itu keheranan, dalam pikirnya siapa pula Amir yang mereka maksud. Keheranannya bertambah ketika bertemu dengan rombongan lainnya yang hendak membawakan barang yang dipikul oleh orang itu.
“Berikanlah pada kami, wahai Amir!” ucap mereka.
Hingga mengertilah orang Suriah itu jika orang yang bersamanya seorang Amir dari kota Madain, ialah Salman Al-Farisi. Penyesalan pun mengalir dari bibirnya, karena merasa malu lantas ia hendak mengambil barang yang dipikul oleh sang Amir. Tapi ia malah menolaknya seraya berkata, “Tidak, sebelum kuantar sampai ke rumahmu.”
BACA JUGA: Sandal Bilal bin Rabah dan Rumah Salman Al-Farisi
Bagi Salman Al-Farisi pekerjaan dengan melayani orang lain sama sekali tidak mencederai kedudukannya sebagai seorang pemimpin. Karena dalam Islam, seorang pemimpin merupakan wakil umat yang bertugas untuk melayani kepentingan umat.
Dan justru itu membuatnya memiliki kedudukan tertinggi di hadapan Allah Swt, Sebagaimana sabda Nabi, “Kemuliaan orang adalah agamanya, harga diri (kehormatannya) adalah akalnya, sedangkan ketinggian kedudukannya adalah akhlaknya.” (Hr Ahmad dan Al-Hakim) []
Sumber: Oase Kehidupan, merujuk kisah-kisah hikmah sebagai teladan/Penerbit: Marja/Penulis:Abu Dzikra – Sodik Hasanuddin,2013