MENAFKAHI anak bagi orang tua merupakan kewajiban yang dibebankan oleh syara’ berdasarkan nilai kasih sayang, sehingga kewajiban ini meski sejatinya dikhususkan bagi ayah. Kadar menafkahi anak tidak ditentukan dalam nominal uang atau ukuran makanan, sebab kebutuhan masing-masing anak berbeda-beda berdasarkan usia dan gaya hidupnya.
Namun secara umum, komoditi yang diperlukan oleh anak biasanya meliputi makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, serta kebutuhan-kebutuhan lain yang bersifat pokok. Selebihnya hanya bersifat sekunder yang hanya wajib jika anak membutuhkannya, seperti pelayan, barang elektronik dan kebutuhan lainnya (Taqiyuddin Abu Bakar al-Husni, Kifayah al-Akhyar, juz 2, hal. 115).
BACA JUGA: Wajibkah Anak Menafkahi Orang Tua?
Pembahasan yang cukup penting untuk diketahui yaitu tentang batas waktu kewajiban orang tua menafkahi anak. Sampai kapan orangtua wajib menafkahi anaknya?
Salah satu alasan wajibnya menafkahi anak bagi orang tua adalah dikarenakan tidak mampunya anak dalam bekerja untuk menghasilkan uang atau karena anak sama sekali tidak memiliki simpanan uang yang cukup untuk biaya hidupnya.
Sehingga ketika anak sudah beranjak baligh dan telah mampu untuk bekerja maka orang tua pada saat demikian sudah tidak wajib untuk menafkahinya, meskipun pada saat itu anaknya masih belum mendapatkan pekerjaan.
Berbeda halnya ketika anak yang telah mampu untuk bekerja sedang dalam tahap mencari ilmu, seperti belajar di pesantren atau institusi pendidikan yang lain, sekiranya jika pendidikannya ditempuh dengan sambil bekerja, maka pendidikannya akan terbengkalai. Dalam kondisi demikian orang tua tetap wajib untuk menafkahi anaknya.
Hal lain yang menjadikan orang tua tidak wajib menafkahi anak adalah ketika anak telah memiliki simpanan uang yang banyak hingga bisa disebut sebagai orang kaya, misalnya ia memiliki harta dari hasil warisan, maka dalam keadaan demikian orang tua tidak wajib untuk menafkahi anaknya, meskipun sang anak masih kecil.
Penjelasan di atas sesuai dengan keterangang yang terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri:
“Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya. Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara’ dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika ia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian ia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja.” (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hal. 187)
Ketentuan di atas adalah ketentuan baku perihal batas menafkahi anak sesuai dengan rumusan para ulama’ yang kompeten.
BACA JUGA: Jika Suami Lama Tinggalkan Istri untuk Mencari Nafkah
Meski begitu alangkah baiknya dalam penerapannya,orang tua tetap mempertimbangkan kondisi anak tentang kesiapan mereka untuk hidup mandiri dengan cara bekerja dan tidak bergantung pada orangtua.
jika memang secara mental belum siap, atau ia masih belum menemukan pekerjaan yang layak baginya, maka bijaknya orang tua dalam keadaan demikian tetap memberi nafkah pada anaknya, meskipun hal ini tidak wajib, hal ini mereka lakukan dengan tetap mendorong anak agar selalu berusaha hidup secara mandiri. []
SUMBER: NU.OR.ID