KALAU antum temukan istilah “kajian kitab bersanad”, itu harus dipahami bahwa maksudnya adalah pengajar kajian itu memiliki sanad riwayah yang bersambung antara dia dan penulis kitab, dan sanad yang sama melalui jalur sang pengajar akan diberikan ke hadirin yang mengikuti kajian.
Perlu dipahami, di masa lalu kitab itu tidak dicetak dengan mesin cetak dalam jumlah besar-besaran, apalagi disebarkan dalam bentuk pdf secara gratis. Ia disalin satu demi satu dengan tangan.
Dan untuk memverifikasi ketepatan hasil tulisan tersebut dengan tulisan yang ditulis oleh muallifnya, maka perlu dicek ke muallifnya, baik dengan dibacakan isi teks yang benar oleh muallifnya, atau penyalin yang membacakan pada muallifnya, atau sekadar menyalin dari salinan muallifnya kemudian “diijazahkan” oleh sang muallif, dan seterusnya.
BACA JUGA:Â Pentingnya Sanad dalam Berilmu
Dan itu berlangsung dari generasi ke generasi. Itulah yang kita kenal dengan sanad kitab. Jadi sanad kitab itu lebih ke verifikasi dan penjagaan ketepatan isi kitab yang diriwayatkan dan disalin, sesuai dengan yang ditulis atau didiktekan oleh muallif. itu sisi ilmiahnya.
Adapun di masa sekarang, saat proses verifikasi kitab secara ilmiah lebih mengandalkan tahqiq manuskrip, dan kitab dicetak dan disebarkan besar-besaran dengan mesin cetak, maka sisi ilmiah “sanad kitab” itu sudah berkurang. Lebih-lebih, banyak yang memiliki sanad kitab, tapi tak pernah berupaya mengecek kecocokan naskah kitab yang ia miliki dengan milik gurunya.
Boleh dikatakan, “sanad kitab” saat ini lebih banyak ke tabarruk (mengambil berkah), karena nama kita disandingkan dengan nama para ulama dan shalihin, yang semoga kita dihitung menjadi bagian dari mereka. Sekaligus menjaga tradisi ilmiah dalam dunia Islam, meski urgensinya sendiri sudah jauh berkurang.
Apakah punya “sanad kitab” berarti ia pasti alim dan menguasai isi kitab tersebut dengan baik? Jawabannya, belum tentu dan tidak talazum.
Pertama, sanad kitab itu babnya riwayat, ketepatan transmisi lafazh dan tulisan, bukan kualitas ilmu dan pemahaman.
Kedua, kadang orang mendapatkan sanad kitab hanya dari satu majlis pengijazahan kitab, yang kitabnya dibaca secara cepat tanpa penjelasan yang memadai. Bahkan banyak juga, cuma diijazahkan tanpa dibacakan.
Ketiga, bahkan seandainya kitab itu diajarkan dalam majlis ilmu dan mulazamah sampai khatam, baru diberikan sanad riwayat kitab tersebut, belum pasti juga yang mendapatkannya punya pemahaman paripurna terhadap isi kitab dan cabang ilmu yang dibahas.
BACA JUGA:Â Ketika Orientalis dan Sejarawan Nasrani Akui Kehebatan Ilmu Sanad
Sebagai contoh, kita semua rata-rata mulazamah ilmu matematika dari SD, SMP dan SMA. Apakah semua kita memahami seluruh teori matematika yang diajarkan dengan baik? Mampukah kita semua menjelaskan tentang sin cos tan dengan baik? Padahal kita semua sudah lulus SMA. Begitu juga dengan kajian ilmu syar’i.
Jadi “sanad kitab” ini perlu didudukkan pada posisi yang tepat. Tidak direndahkan dan dicibir, karena bagaimana pun, ia ada faidahnya dan merupakan tradisi umat Islam yang perlu dilestarikan.
Tapi jangan juga mengglorifikasikannya secara berlebihan, seakan pemiliknya itu telah mewarisi ilmu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau ilmu para imam di era salaf. Jangan-jangan ia hanya seperti keledai yang memanggul tumpukan kitab. Yang dibawanya memang kitab yang berisi ilmu, tapi ia sendiri adalah keledai yang tidak memahami isi kitab yang ia bawa.
Wallahu a’lam. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara