Oleh: Indri Faaza
NAMANYA sungguh tak asing di telinga. Dia adalah seorang ulama fiqih bermazhab Syafi’i. Kitab karangannya yang bernama “Sabilal Muhtadin”, menjadi rujukan bagi banyak pemeluk Islam di Asia Tenggara. Bahkan dia mendapat julukan sebagai Anumerta Datu Kelampaian. Dialah Al Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdurrahman al-Banjari. Seorang ulama ternama asal Kalimantan yang kiprahnya terkenal di seantero nusantara.
Berangkat dari tanah kelahirannya di Martapura, syekh belajar ke tanah kelahiran Islam, Makkah dan Madinah, kemudian pulang menjadi ulama yang mendidik banyak umat serta mencetak du’at penerus dakwah.
Dia lahir pada 15 Safar 1122 Hijriyah atau bertepatan dengan 17 Maret 1710 Masehi. Menurut beberapa sumber, ia memiliki garis keturunan hingga cucu Rasulullah dari Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra. Nenek moyang syekh yang datang ke Tanah Melayu yaitu Abdullah bin Abu Bakar as-Sakran, kakek dari Abdur Rahman al-Banjari.
Abdullah pertama kali datang di Filipina dan mendirikan Kerajaan Mindano. Saat perang melawan Portugis, datuk Muhammad Arsyad ini melarikan diri ke Martapura atau Lok Gabang. Di Ibu Kota Kerajaan Banjar inilah, ia menurunkan keturunan hingga lahirlah Syekh Muhammad Arsyad.
Lahir di tengah keluarga beragama, Syekh Arsyad mendapat pendidikan Islam yang baik. Hingga menginjak usia remaja, ia pun berangkat ke Haramain untuk menempa ilmu. Tak tanggung-tanggung, syekh menghabiskan waktu 30 tahun di Makkah dan 5 tahun di Madinah untuk menyempurnakan ilmu agmanya. Tak heran jika kefakihannya tak tertandingi di nusantara saat ia pulang kembali ke kampung halaman.
Waktu lama yang Syekh Arsyad habiskan di Tanah Suci membuatnya menjadi murid sekaligus sahabat para guru ternama Saudi. Beberapa di antaranya, yakni Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al-Mishry, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Disebutkan pada masa itu, terdapat empat ulama dari Tanah Air yang menuntut ilmu di Haramain. Selain Syekh Arsyad, terdapat pula Syekh ‘Abdus Shamad al-Falimbani dari Palembang, Syekh Abdur Rahman al-Mashri al-Batawi dari Betawi, dan Syekh Abdul Wahhab Bugis dari Bugis. Dengan mereka, Syekh Arsyad berteman baik dan menuntut ilmu di Tanah Suci. Keempatnya pun kemudian dijuluki “Empat Serangkai dari Tanah Jawi (Melayu)”.
Sepulang dari Tanah Suci, Syekh al-Banjari kemudian pulang ke tanah kelahirannya di Martapura. Dari sana, ia kemudian membangun pendidikan Islam di Kalimantan. Ia memegang peranan penting dalam penyebaran dakwah Islam di sana. Setelah membuka majelis ilmu, al-Banjari pun kemudian mendidik banyak murid. Dari pengajaran dia, lahir para dai yang kemudian ikut serta dalam mendakwahkan Islam di Kalimantan.
Bahkan dikisahkan, saat pulang ke Martapura, al-Banjari disambut dengan upacara adat kebesaran yang dihelat Raja Banjar, Sultan Tamjidillah. Hubungan yang baik antara ulama dan umara menjadikan al-Banjari sebagai penasehat kesultanan banjar. Pun dalam penghargaan atas ilmunya, menjadikan al-Banjari meninggalkan warisan ilmu yang luar biasa.
Rakyat Banjar mengelukan kedatangan sang syekh yang dianggap sebagai Matahari Agama. Maksudnya, al-Banjari diharapkan dapat menjadi cahaya agung yang menyinari Kerajaan Banjar. Tak hanya masyarakat, tapi seluruh pihak kerajaan pun mengharapkannya menjadi pembimbing agama mereka.
Harapan tersebut pun tercapai. Al-Banjari pulang dan menyalakan cahaya agama yang menghidupkan masyarakat Banjar. Namun, tak hanya di Kalimantan, dakwahnya pun disambut baik oleh masyarakat di Pulau Jawa. Di Jakarta, yang saat itu masih bernama Batavia, pendidikan al-Banjari diterima dengan antusias. Ia bahkkan pernah mengoreksi arah kiblat beberapa masjid tua di Jakarta, seperti Masjid Pekojan dan Masjid Luar Batang di Jakarta Utara.
Syekh berdakwah di nusantara hingga 50 tahun lamanya. Ia juga memiliki banyak karya yang menjadi media pembelajaran Islam kala itu. Kitabnya yang paling fenomental, yakni Sabil al-Muhtadin. Semua ulama di tanah Melayu menjadikan kitab tersebut sebagai rujukan ilmu. Hampir tak ada satu pun ulama nusantara yang tak mengenal karya beliau tersebut.
“Dia sangat termasyhur dengan kitab Sabilal Muhtadin. Judul kitab yang kini diabadikan menjadi nama masjid terbesar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kitab ini menjadi panduan bagi tak sedikit pengajian keagamaan di Asia Tenggara,”
Selain Sabilal Muhtadin, al-Banjari pun menghasilkan karya yang jumlahnya sangat banyak. Meski aktivitas mengajar telah menghabiskan banyak waktunya, syekh menyempatkan menulis kitab untuk menunjang dakwahnya.
Dengan ilmu agama yang mumpuni, al-Banjari tak hanya menulis kitab dalam satu bidang agama. Ia menulis tentang akidah, fikih, tafsir, hadis, dan hampir seluruh cabang ilmu agama.
Setelah menorehkan banyak kiprah bagi Muslimin Tanah Air, bahkan hingga Asia Tenggara, al-Banjari kemudian mengembuskan napas terakhir pada 6 Syawal 1227 Hijriyah atau 3 Oktober 1812 Masehi.
Ia dimakamkan di Desa Kelampaian Tengah, Kecamatan Astambul, yakni berjarak sekitar 15 kilometer dari Martapura. Di dekat makam, dibangun pula sebuah perpustakaan yang menyimpan karya ulama karismatik yang pernah dimiliki Indonesia ini. Hingga kini, makamnya sering dikunjungi warga masyarakat baik lokal maupun nasional.
Hakikatnya, keberadaan ulama di samping umara dengan ilmu dan nasehatnya telah membantu para umara melaksanakan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab. Artinya, ulama menjadi pengingat bagi umara dalam pengurusan urusan rakyatnya. Hal ini menjadi lecutan untuk ulama hari ini agar berada di sisi umara sebagai pengingat kebenaran, bukan yang lain. []