Oleh: Hafis Azhari
Penulis novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten
hafisazhari@yahoo.com
ADA orang menyatakan bahwa penyakit yang menyerang tubuh kita tergantung pada imunitas atau kekebalan tubuh kita masing-masing. Ibarat suatu kerajaan yang kebal menghadapi serangan musuh jika diamankan oleh kekuatan benteng yang tinggi dan kokoh. Tetapi, jika benteng kerajaan itu rapuh dan keropos, serangan anak panah sekecil lidi sekalipun akan sanggup menembusnya.
Benteng yang kokoh itu harus diciptakan oleh ikhtiar manusia, termasuk membangun sistem kekebalan tubuh kita. Tetapi, nasib hidup manusia memang berbeda-beda. Ketika yang satu mengalami kelemahan pada organ tubuh tertentu, yang lain bisa jadi memiliki kelemahan pada area organ lainnya. Singkatnya, ada di antara kita yang suka mengeluh sesak nafas, sakit perut, sakit kepala, bahkan ada juga yang mengeluh soal pencernaan maupun THT (telinga-hidung-tenggorokan) dan lain-lain.
Sedangkan saya sendiri, problem utamanya ada di salah satu panca indera, yakni mata. Sejak kelas satu SMP saya bicarakan sama Ibu perihal mata yang kurang jelas melihat tulisan Guru di papan tulis whiteboard. Ibu memeriksakan mata saya ke dokter, hingga akhirnya dokter mata memutuskan bahwa mata saya mengalami kelemahan pada sarafnya, dan memerlukan kacamata dengan ukuran minus 1,5 (kiri dan kanan).
Pertama kali memakai kacamata di ruang kelas membuat saya minder dan malu setengah mati. Ditambah dengan repotnya kuping dan hidung menyangga beratnya beban kacamata yang menggelayut di pipi. Tetapi, lama kelamaan hal itu menjadi terbiasa. Bahkan, ledekan beberapa teman yang agak peduli dengan penampilan saya berkacamata, menjadi terbiasa juga pada akhirnya.
Hari demi hari, tahun demi tahun, kelemahan pada saraf tak kunjung reda. Sehingga, ketika saya menginjak kelas tiga SMU, mata saya sudah meningkat status minusnya menjadi 4,5. Mau tidak mau kacamata yang semakin tebal saya biarkan menggelayut di pipi kiri dan kanan, ditambah cibiran beberapa teman sekelas yang memanggil saya dengan sebutan “kutu buku”. Karena memang, saya tidak bisa membaca buku dalam jarak 20-30 cm, tanpa disertai dengan kacamata yang membantunya. Belum lagi membaca tulisan-tulisan penting di internet melalui layar komputer.
Waktu demi waktu berlalu, dan ketika orang tua saya mengajak menunaikan ibadah umrah pada semester akhir kelas tiga SMU, minus pada mata saya sudah menginjak 5 pas.
Persediaan kacamata harus dipersiapkan agar saya bisa menjalani ibadah umrah dengan khusuk, bersama Ibu dan Ayah. Sekelabat dalam bayangan saya, wajah Ka’bah yang mempesona, masjid Nabawi yang anggun menawan, ditambah niat baik untuk berdoa dengan khusuk di depan Multazam, Hijr Ismail, Raudlah dan seterusnya. Meskpiun dalam praktiknya, niat baik itu tidaklah semudah membalikkan telapan tangan.
***
Sebagai tamu Allah saya pantang untuk mengeluh. Tapi siapa yang dapat menyangkal adanya suara hati yang kadang naik dan turun dalam fluktuasi iman kita kepada Sang Khalik. Kepercayaan itu seakan limbung ketika saya periksa kacamata cadangan di dalam koper yang saya buka di dalam hotel di Kota Madinah. Ternyata, tindihan beban berat dari ratusan koper-koper besar membuat koper yang saya miliki semakin terhimpit, dan setelah melihat kacamata saya, wah, ternyata hancur dan kedua lensanya remuk-remuk.
Sekarang tinggal kacamata satu-satunya yang menggelayut di pipi, dan saya bertekad untuk menjaganya dengan baik. Tetapi, penjagaan seketat apapun tidak bisa melawan takdir Tuhan jika Ia berkehendak. Pada hari kedua saya melaksanakan salat di masjid Nabawi, suatu senja selepas Magrib saya menuju makam Rasulullah bersama ribuan jamaah umrah yang semakin padat dari tahun ke tahun.
Ketika saya hendak menyentuh dinding di seputar makam Rasul, tiba-tiba serombongan jamaah Turki yang berbadan tinggi dan besar tiba-tiba merangsek dan menghimpit tubuh saya di sekitar itu. Kacamata satu-satunya terpental jatuh, dan ketika saya memungutnya, tangan saya terinjak sebuah telapak kaki besar. Saya meronta-ronta sekuat tenaga, dengan pikiran hanya berpusat untuk menyelamatkan kacamata itu. Sesampainya kacamata di tangan saya, lensa kanannya hilang entah di mana, sementara lensa kirinya sudah pecah dan retak-retak.
Di kamar hotel saya duduk termangu. Ibu membaca adanya reaksi yang kurang menggembirakan para raut wajah saya. Tetapi ketika ia bertanya “ada apa”, maka saya pun menjawabnya, “tidak ada apa-apa”. Saya berpantang untuk mengeluh, bahkan untuk problem yang sangat krusial sekalipun. Saya tidak mau merepotkan atau mengganggu kekhusukan ibadah kedua orang tua saya. Mereka pun paham, anak seusia saya sudah selayaknya mandiri, dan selama aku hafal jarak antara kamar hotel dan masjid Nabawi, saya dibiarkan menjalani aktifitas ibadah semamapu saya.
Ketika suatu kali Ayah menegur kenapa saya tidak mengenakan kacamata. Saya jawab, kacamata ada di dalam tas. Di sisi lain, saya pun tidak mau adanya kata-kata emosional yang terlontar saat orang tua saya menunaikan ibadah umrah yang sudah direncanakan bertahun-tahun. Saya dapat membayangkan kalimat-kalimat ini akan muncul dari mulut mereka: “Mestinya kamu jaga baik-baik! Segala sesuatu yang penting harus diutamakan! Jangan sembrono! Kenapa kamu teledor?!”
Saya menjaga agar kata-kata itu tidak keluar dari mulut mereka, ditambah pikiran macam-macam soal uang dan harga kacamata minus dan seterusnya. Maka saya nyatakan saja bahwa saya segan memakainya. Kacamata ada di dalam tas. Beres.
***
Seperti yang sudah saya katakan, siapa yang dapat menyembunyikan diri dari suara hati ketika hati ini berbicara. Saya bisa menjaga omongan lewat mulut, juga bisa menyimpan rahasia kepada kedua orang tua atau siapapun makhluk Tuhan yang kasatmata. Tetapi, hati yang menggerutu dan menggerundel pada takdir Tuhan, sulit untuk saya hentikan. Seketika saya agak frustasi dan malas berdoa.
Niat baik yang saya rencanakan akan jadi pudar, manakala esok hari bus jamaah akan meluncur menuju Makkah al-Mukarromah. Sementara, imajinasi saya agak gelap dan kabur pada lanskap Ka’bah dan Masjidil Haram, yang sebelumnya – sewaktu di tanah air – gambaran itu begitu jelas, jernih dan bercahaya.
Malam terakhir di Kota Madinah, tiba-tiba saya terbangun di kamar hotel, lalu melihat jam menunjukkan Pk. 02.00 dinihari. Seketika saya keluar kamar sambil menutup pintunya pelan-pelan. Saya menuju masjid Nabawi, dan dalam keremangan pandangan mata, terlihat orang-orang melaksanakan tahajud tetapi saya tidak melaksanakannya. Saya pun melihat orang-orang berdoa tetapi saya tidak melakukannya pula.
Saya hanya duduk termenung. Dalam kesendirian itu sesekali menggugat kasih-sayang Tuhan yang seakan tidak bertindak apa-apa atas niat-niat baik yang sudah saya rencanakan. Ia hanya berpangku tangan saja. Dan, apa jadinya keadaan dunia berikut kehidupan di dalamnya bila tidak disertai fungsi amal dan perbuatan Tuhan yang melibatkan diri di dalamnya? Sikap skeptis itu kian menyeruak dalam pikiran, seperti kebanyakan orang yang seakan kehilangan iman, “Tuhan, kenapa harus saya yang mengalami, mengapa tidak menimpa orang lain saja?”
Tak berapa lama, saya beranjak menuju Raudlah, dan dalam keremangan mata saya, ratusan orang-orang sedang berdoa sambil duduk bersandar pada dinding Raudlah. Sebagian di antara mereka membaca Alquran dengan khusuk dan tekun, tetapi saya tidak melakukannya pula.
Di sekitar dinding-dinding Raudlah terdapat ribuan bahkan puluhan ribu eksemplar Alquran yang didonasikan sebagai amal jariyah dari para jamaah umrah dan haji. Saya mendekati dinding yang berundak, untuk memilih salah satu bentuk Alquran. Tetapi di sela-sela tumpukan Alquran itu saya menemukan sebuah kitab kumpulan hadits Nabi, Bukhari-Muslim, yang barangkali donaturnya adalah orang Indonesia. Sebab, kitab itu sudah dalam bentuk terjemahan ke dalam bahasa Indonesia.
Sekelebat saya membuka kitab tersebut, yang kemudian saya baca dari jarak dekat. Tiba-tiba saya terpana ketika membaca sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah bersabda: “Doa seorang hamba senantiasa akan dikabulkan selama tidak berdoa untuk perbuatan dosa, atau memutus tali silaturrahim, serta selama doanya tidak tergesa-gesa.”
Lalu, seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud tidak tergesa-gesa?”
Rasulullah menjawab, “Ada orang berkata, wah, aku sudah berdoa berkali-kali tetapi doa-doaku tidak dikabulkan juga. Kemudian, orang itu merasa kecewa dan frutasi, sehingga tidak mau berdoa lagi.”
Membaca hadits Nabi tersebut, sontak saya mengucap “istighfar” lalu mengambil wudlu dengan air zamzam, setelah meminumnya beberapa teguk. Kemudian, saya mengambil posisi di tengah Raudlah, melaksanakan tahajud sambil berdoa minta dimudahkan dan diselamatkan dalam perjalanan umrah ini. Saya pun minta dilapangkan rizki, petunjuk dan hidayah, serta kesehatan tubuh agar dapat melakukan ibadah dan segala aktivitas hidup dengan sebaik-baiknya.
Keesokan harinya selepas salat Zuhur dan makan siang, jamaah kami bersiap-siap melakukan perjalanan menuju Masjidil Haram di Kota Suci Makkah al-Mukarromah. Tetapi, barangkali karena pandangan mata yang agak buram, tiba-tiba kaki saya terpeleset air zamzam yang menggenang di lantai, dan tengkuk saya terbentur pilar di sekitar keran-keran yang menyediakan air zamzam.
Ayah segera mengamit lengan saya, dan memeriksa tengkuk yang agak benjol. Bagian kesehatan yang disediakan jamaah kami mendekat, tetapi Ayah menenangkan mereka, bahwa tidak ada luka melainkan hanya sedikit memar saja.
***
Kali ini saya harus bicara terus-terang pada kedua orang tua mengenai nasib kedua kacamata saya. Di tengah perjalanan bus menuju Masjidil Haram, saya ceritakan semuanya. Tetapi alhamdulillah, mereka mendengarkan cerita saya dengan tenang dan sabar, sampai-sampai Ayah memutuskan akan membelikan kacamata minus 5 setibanya kami singgah di hotel nanti.
Aneh bin ajaib, sesampainya kami tiba di hotel Zamzam Tower, kacamata yang telah Ayah belikan, tidak cocok lagi untuk mata saya. Padahal, kacamata tersebut telah dibeli dari toko optik terdekat dengan ukuran minus 5, sebelum jamaah kami menaiki Lantai ke-9 hotel Zamzam Tower.
Seketika saya menuju jendela kamar hotel, dan… luar biasa, mata saya terpancang dengan tatapan tajam ke arah Ka’bah yang terlihat jelas, tanpa harus mengenakan kacamata. Bahkan, para jamaah umrah yang sedang melaksanakan thawaf mengelilingi Ka’bah juga terlihat jelas dari atas hotel.
Ada apa dengan diri saya? Kenapa mata saya dapat melihat secara terang benderang? Apakah karena benturan pilar yang mengenai tengkuk saya? Ataukah tubuh saya yang terdiri dari 61% cairan ini telah pulih karena tergantikan dengan mineral air zamzam yang telah saya konsumsi selama beberapa hari itu? Ataukah… ah, semuanya ini hanya hipothesis saya pribadi, yang dalam kenyataannya saya tak mungkin sanggup menjawabnya secara rasional tulen.
Sampai saya kisahkan perjalanan umrah di hadapan Anda saat ini, saya hanya berpesan, sebagaimana pesan yang juga disampaikan untuk diri saya pribadi, “Jangan pernah putus asa dari rahmat Allah… teruslah menanam satu batang pohon yang siap ditanam, meskipun kita mendengar kabar bahwa esok akan datang kiamat.” []
Kirim cerita pendek Anda, maksimal 4 halaman Microsoft Word, Times New Roman 12, spasi 1, ke imel: islampos@gmail.com atau redaksi@islampos.com