Oleh: Fakhri Fauzan Azhari
S1 di STAIPI Bandung Jurusan Komunikasi dan penyiaran Islam
SANTRI secara umum adalah sebutan bagi seseorang yang belajar agama islam di pesantren. Menurut bahasa, term santri berasal dari bahasa sansekerta, “shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan “sastra” yang berarti kitab suci, agama, dan pengetahuan. Ada pula yang mengatkan santri berasal dari kata “cantrik” yang artinya para pembantu begawan atau resi, seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh begawan atau resi tersebut.
Akan tetapi lebih jauh dari pada itu, figur santri adalah pandangan hidup tentang seluruh sistem kepercayaan dan keyakinan, dikatakan bahwa santri disebut sebagai manusia lahir-batin. Istilah tersebut muncul karena santri percaya bahwa manusia terdiri dari dua dimensi yang tak terpisahkan, yakni dimensi lahir dan dimensi batin.
BACA JUGA: Saat Pimpin Apel dan JJS, Bupati Pringsewu Jelaskan 6 Rukun Santri
Dimensi lahir manusia mencakup aspek-aspek kehidupannya yang bersifat indrawi, kasatmata, dan logis seperti daya intelektual, kemampuan, keterampilan, etos kerja, prestasi dan lain-lain. Sedangkan dimensi batin mencakup hal-hal yang tidak kasat mata, seperti moralitas dan spiritualitas.
Filosofi seperti inilah yang kemudian memunculkan khittah sistem pendidikan pesantren yang memadukan dua dimensi manusia tersebut. Yaitu sistem Tarbiyah yang berorientasi pada aspek batin dalam ranah moral spiritual, serta sistem Ta’limiyah yang berorientasi pada aspek lahir dalam ranah skill intelektual.
Dewasa ini, dimana perkembangan zaman semakin pesat, seorang santri tentu haruslah bisa beradaptasi dan melakukan perubahan. Santri dituntut memiliki intelektualitas yang luas, yang bisa menggabungkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Era sekarang tantangan santri sangat berbeda, dengan kemajuan zaman dan perkembangan globalisasi. Disamping menekuni kajian keagamaan yang sangat kental, seperti kajian kitab kuning, moral, tatakrama, tawadhu, santri harus mengimbanginya dengan kemampuan intelektualnya.
Kini, santri akan dihadapkan dengan era milenail. Bahkan lebih dari itu, dunia akan memasuki babak baru yang dihuni oleh generasi post-milenial, yakni satu strip diatas milenial. Generasi yang hidup dalam kemajuan informasi dan teknologi ini tentu saja memiliki pola hidup berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Perubahan besar-besaran akan terjadi di berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan. Dalam hal ini pesantren pun akan mengalami tantangan baru untuk bisa tetap berdiri ditengah-tengah generasi milenial.
BACA JUGA: Ketika Sandal Gus Dur Dicuri Santri
Santri generasi milenial kini mempunyai tantangan menyambut revolusi industri 4.0. Era revolusi industri keempat sebenarnya sudah mulai ditapaki yang ditandai dengan digitalisasi. Salah satunya artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, yang semakin berkembang saat ini. Bukan hanya untuk industri, AI juga dikembangkan untuk mempermudah kehidupan manusia. Selain AI, terdapat teknologi lain yang menjadi penopang industri 4.0, yakni internet of things, human-machine interface, teknologi robotik dan sensor.
Teknologi tersebut menjadi tanda bahwa di era ini, aspek-aspek kehidupan akan memasuki dunia virtual, efek dari penerapannya adalah efisiensi produksi dan terjadi peningkatan produktivitas serta daya saing. Layaknya koin yang memiliki dua sisi, revolusi industri 4.0 tak hanya membawa keuntungan bagi sektor industri, tapi juga merupakan tantangan baru.
Dunia yang telah memasuki era revolusi industri 4.0 nampaknya bukan lagi isapan jempol belaka, maka santri haruslah mampu dan terbuka menghadapi tantangan kemajuan teknologi era revolusi industri 4.0 ini. Lantas bagaimana kita bisa bertahan dan beradaptasi di era revolusi industri 4.0 ini? Formula apa yang mesti dimiliki oleh santri milenial guna menghadapi era tersebut?
Tentu ada sebuah formula khusus guna menghadapi revolusi industri 4.0 ini, formula tersebut bernama 21st century skills yang bermuatan 4C, yakni critical thinking, creativity, collaboration, dan communication.
Pertama critical thinking, santri haruslah berpikir kritis melihat dunia luar. Ilmu harus digali secara lebih luas serta mendalam, mampu memahami sebuah problem yang rumit serta mampu mengkoneksikan berbagai informasi sehingga memunculkan berbagai perspektif yang kemudian memunculkan sebuah gagasan dan solusi. Akan tetapi santri harus tetap berpegang kepada akidah.
Kedua creativity, kreativitas juga harus ditunjukan dengan cara membuat terobosan dan menemukan seuatu yang baru. Kreativitas akan sangat tegantung kepada pemikiran kreatif seseorang, kreativitas dapat menghasilkan hal-hal baru yang biasanya bernilai ekonomis, hal ini akan membuat santri berdaya dalam bidang industri. Bagaimana bisa berasing bila tidak dapat menciptakan hal yang baru?
Ketiga collaboration, santri pasti sadar dan tahu bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang Allah ciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (Al-Hujurat : 13), memiliki jaringan luas serta berkolaborasi alias saling bekerjasama, dan bersinergi menyatukan potensi dengan sesama.
Dan yang terakhir adalah communication, merupakan salah satu kunci sukses dalam hidup ini, banyak sekai problem bermunculan yang hanya berawal dari miscommunication, dan seorang santri tidak akan terlihat cerdas jika tidak bisa menyampaikan gagasannya dengan baik, apalagi jika dalam berkhutbah atau ceramah, seorang santri dituntut memiliki retorika komunikasi yang handal, maka keterampilan komuniakasi sangatlah penting
Itulah senjata untuk menghadapi revolusi industri 4.0, dengan menerapkan formula 4C ini, maka santri diharapkan memiliki kemampuan yang mumpuni untuk bersaing dan mengantisipasi perubahan yang cepat di era revolusi industri 4.0 ini, hanya ada dua pilihan, beradaptasi atau mati! []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.