BEGITU ujian kelulusan SMA selesai, aku enggan datang ke sekolah, bagaimana tidak, teman-temanku sibuk berdiskusi dan merencanakan hendak bimbel dimana untuk persiapan UMPTN, rencana-rencana setelah lulus SMA. Mau kuliah dimana? Itu pertanyaan yang paling aku hindari.
Ketika para orang tua sibuk menyemangati anaknya, mamaku tercinta berbicara denganku menjelang tidur.
“Mama cuma sanggup nyekolahin kamu sampai disini, papa udah gak ada, kita gak punya pensiun, gak punya harta yang bisa dijual buat nguliahin kamu, buat makan pun mama berharap dari anak, jadi kalau kamu pengen kuliah, kamu usaha sendiri, mama cuma bisa bantu doa aja,” begitu kata mamaku waktu itu.
BACA JUGA: Dari Tukang Beca Jadi Sarjana, Inilah Kisah Muhammad Hamzah Amirullah
Malam itu kututup wajahku dengan bantal agar mama tidak melihat cucuran air mataku. Betapa ku mengutuki hidupku, yang tidak seberuntung teman-temanku. Darah remajaku bergolak, tapi tidak pernah tau harus pada siapa kekecewaan itu aku tumpahkan.
Aku tertunduk dihadapan pria keturunan pemilik toko branded ternama dikotaku, beliau juga teman dekat almarhum papa, dia bertanya apa rencanaku selulus sekolah ini. Aku memang bekerja di tempatnya kadang di paruh waktu, dan di waktu liburan untuk mencari tambahan biaya untuk sekolah.
“Mama gak sanggup nyekolahin saya om, saya disuruh cari uang sendiri kalau mau kuliah,” jawabku lesu.
“Bagus dong, kalau kamu sekolah dengan biaya sendiri, kamu bisa belajar artinya berjuang hidup,” katanya sambil menyortir uang.
“Kamu gak usah sedih apalagi khawatir, orang sukses itu gak mesti orang seorang sarjana akademis, gak mesti seorang yang menuntut ilmu duduk di bangku sekolahan. Orang sukses itu orang yang bisa menaklukan kerasnya kehidupan dengan kelembutan hati. Orang sukses itu orang yang tetap bisa berdiri lagi waktu jatuh, bisa merangkak waktu gak bisa jalan, bisa menolong dirinya sendiri tanpa merepotkan orang lain, orang yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Kamu gak usah fokus sama kesedihan kamu, meratapi hidupmu itu gak akan menolong apa-apa, kamu fokus aja sama gimana jalan menuju sukses,” tukasnya lagi.
“Tapi Om, Almarhum papa pingin aku kuliah, sebelum papa meninggal papa bilang pengen punya anak sarjana, biar gampang cari kerja,” kataku lagi.
Beliau menatapku lekat, “Ya… papamu pernah juga ngomong sama om, tapi om yakin kamu bisa jadi sarjana walau papamu udah gak ada. Kamu akan bisa membiayai sekolahmu sendiri, om yakin itu. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, sarjana akademik itu bagus, tapi sarjana hidup itu lebih bagus. Buat jadi sarjana akademik itu gak sulit, yang sulit itu jadi sarjana hidup. Sarjana hidup itu bisa kamu raih kalau kamu bisa tegar menjalani hidup, bersyukur disaat sulit, bermanfaat bagi orang lain ketika kamu membutuhkan pertolongan dan tetap berlaku baik ketika sekelilingmu tidak memperlakukanmu dengan baik.”
“Ini om kasih kamu bonus lain dari gaji kamu, terserah kamu mau pakai apa, kalau kamu mau kamu juga bisa sementara kerja disini sampai kamu dapat kerja atau buka usaha sendiri,” begitu pesannya.
BACA JUGA: Sarjanaku, Menaikkan Harga Mahar
Aku tidak pernah datang kesekolah kecuali kalau ada hal penting seperti lihat pengumuman, cap 3 jari, bahkan perpisahan pun aku bersegera pulang. Maka aku tidak punya foto perpisahan, tapi tak mengapa, kenangan itu tetap abadi di hati. Aku menulis beberapa lamaran dengan mencatat alamat dari buku yellow peges pinjaman.
Hari itu pengambilan Ijazah, STTB dan surat kelulusan, teman-temanku bersuka cita, aku menyelinap pergi dan menuju tempat foto copy, berbekal pemberian bonus pemilik toko itu, segera ku copy surat-surat itu untuk melamar pekerjaan. Hari itu juga aku mengirim lamaran. Beberapa hari kemudian aku mendapatkan surat panggilan test dari 2 perusahaan, dengan tanggal pelaksanaan berbeda. Kedua test itu aku jalani, dan dua-duanya meloloskanku menjadi calon karyawati mereka, yang satu dari perusahaan kertas terbesar se asia tenggara, dan yang satu sebuah bank swasta nasional terbesar di Indonesia. Aku memutuskan mengambil kesempatan bekerja di sebuah bank swasta dengan membeli pakaian, sepatu dan tas yang juga bekal bonus dari om pemilik toko.
Lima bulan bekerja di bank aku bekerja di sebuah perusahaan konsultan perancis 2 bulan lalu pindah ke perusahaan kimia selama 17 tahun. Disini aku menyelesaikan kuliahku, menjadi sarjana tehnik seperti yang dicita-citakan Almarhum Papa, menjalani karir di kantor dan berbagai organisasi, membuka toko baju anak branded, tapi satu cita-citaku masih menggantung, yaitu lulus sebagai sarjana kehidupan.
Ternyata benar, untuk bisa lulus sarjana kehidupan itu jauh lebih sulit, bulak-balik diuji, belum pernah tahu berapa nilai yang Allah berikan, belum tahu apakah kita bisa lulus dengan gemilang sampai waktunya kita menggunakan kain kafan sebagai baju wisuda untuk mengetahui nilai hasil ujian kita. Jangan bosan belajar mencari ilmu agama, jangan lelah mengaplikasikannya pada hidup, karena kita tidak pernah tahu kapan sekolah kehidupan ini harus kita akhiri, dan seperti apa kita bisa lulus nanti.[]