Oleh: Muakhor Zakaria
Dosen Perguruan Tinggi La Tansa, Rangkasbitung, Banten Selatan
muakhor_zakaria@yahoo.co.id
PERAIH nobel sastra asal Mesir, Najib Mahfudz , memang luar biasa daya imajinasinya. Beda dengan karya sastra asal Turki (Orhan Pamuk), yang menggambarkan suasana kehidupan di negeri kaum muslim, namun gaya penuturannya tergenangi nafas eksistensialisme Barat.
Dalam pengakuannya di mimbar penghargaan nobel (1988), Najib Mahfudz menyampaikan keunggulan bahasa Arab yang sudah memiliki tradisi berabad-abad. Bahkan, pernah merajai peradaban dunia yang tentunya memiliki kekayaan linguistik untuk menyatakan hal-hal paling terdalam sekalipun.
Ciri khas dari karya-karya Mahfudz, bahwa ia begitu fasih menuturkan bahasa hati dan relung-relung jiwa. Namun, sekaligus bernuansa kerakyatan dan mudah dipahami oleh para penikmat sastra dunia. Karya-karyanya yang terkenal antara lain berjudul Lorong Midaq, Bianglala, Qasytamar, Masjid di Lorong Sempit, hingga karya terakhirnya yang ditampilkan oleh harian lokal Mesir (Al-Ahram), berjudul Bainal Qasraini (Antara Dua Istana).
Trilogi Bainal Qasraini bicara pada tataran agama formal yang berhadap-hadapan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ketika Islam ditampilkan sebagai agama yang kaku dan jumud, maka sikap intoleran terhadap budaya setempat menjadi problem serius yang harus ditangani bersama. Gaya penuturan Mahfudz sebagai pengarang yang pernah mengadakan studi filsafat di Universitas Kairo, memang tak lepas dari niat-niat menampilkan dakwah yang berkualitas. Dan dalam terminologi filsafat Hegel, esensi dakwah tidak boleh mengabaikan tiga unsur terpenting, yaitu kebaikan, kebenaran dan keindahan.
Dikisahkan dalam salah satu novel Mahfudz, “Bainal Qasraini” tentang seorang ayah berjiwa paternalis dan diktator bernama Sayid Ahmad. Ketika dia sedang ada urusan perdagangan di daerah Port Said, anak-anak mendesak ibunya, Aminah, agar sesekali keluar rumah untuk mendatangi petilasan Sayidina Husain, cucu Rasulullah yang sangat dikaguminya sejak kecil. Keempat anaknya, Yasin, Khadijah, Aisyah dan si bungsu Kamal, meyakinkan ibunya bahwa tidak ada salahnya sesekali melihat dunia luar untuk berziarah ke makam keramat itu.
Mendengar Sayidina Husain disebut namanya, Aminah pun gugur hatinya. Dengan berdebar-debar menahan gelora emosi ia pun akhirnya keluar rumah juga, dipandu oleh si bungsu Kamal. Ziarah pun berlangsung aman, karena letak petilasan keramat ternyata tidak jauh dari kediamannya. Tetapi nasib malang kemudian menimpa Aminah dalam perjalanan pulang. Ia terserempet mobil dan terjatuh. Luka-luka tidak dirasakannya, meskipun ia bingung bagaimana harus mempertanggungjawabkan kejadian itu di hadapan Sayid Ahmad suaminya.
Kepanikan dan ketegangan menyelimuti Aminah dan anak-anaknya. Mereka membujuk agar sedapat mungkin ibunya berbohong dengan alasan-alasan yang masuk akal. Tetapi Aminah memilih jalan paling bijak yang sekiranya sesuai dengan kesalehan seorang muslimah, hingga ia pun berterus-terang menyatakan apa adanya. Sepulang dari Port Said, Sayid Ahmad memang tidak bersikap kasar pada istrinya. Dipanggilnya dokter hingga divonis patah pada salah satu tulang rusuk Aminah. Ia pun merasa senang atas perlakuan suaminya, dan dokter memerintahkannya istirahat selama beberapa waktu.
Tetapi, setelah dokter menyatakan ia sehat dan pulih, kewibawaan dan paternalisme Sayid Ahmad muncul kembali. Dengan tegas ia memerintahkan Aminah agar pulang ke rumah orang tuanya. Seketika perasaan bersalah dan gundah-gulana menyelimuti keluarga itu. Anak-anak pun terdiam sedih. Aminah dengan taat dan tunduk menuruti perintah suaminya. Tak ada jalan lain, dia harus ikhlas menerima hukuman yang sangat nista itu. Para kerabat dan handai-taulan berusaha melunakkan hati Sayid Ahmad namun semuanya kandas, karena memang kewibawaan laki-laki dan suami dianggap keramat dalam tradisi bangsa-bangsa Arab.
Selang beberapa waktu muncullah seorang janda kaya-raya dari keluarga besar Syawkat. Maksud kunjungannya tak lain ingin meminang si gadis Aisyah dengan anak tercintanya yang bernama Khalil. Tetapi ketika mendengar Aminah telah diceraikan oleh suaminya – dengan dalih aturan agama – sang janda kaya itu tiba-tiba marah besar. Dia memanggil Sayid Ahmad, bahkan akan menuntutnya seandainya Aminah tidak dikembalikan sebagai istri dalam keluarga yang sudah dianggap saudara itu. “Kalau tidak, tahu sendiri akibatnya!” ancam si janda kaya itu.
Bagi Sayid Ahmad masalahnya tambah rumit lagi, karena ia pernah berhutang budi pada keluarga Syawkat yang kaya-raya itu. Maka bergulatlah ia dengan jiwanya, antara mempertahankan ego dan kewibawaannya, patuh pada aturan yang dianggap keramat ataukah ia mengalah demi perikemanusiaan. Kalaupun dia merasa menang dari istrinya, tapi apakah dia sanggup “bertempur” melawan janda kaya-raya itu?
Dalam kaitan itu, sastrawan muslim asal Pakistan, Muhamad Iqbal pernah menegaskan bahwa keimanan manusia (faith) tidak akan menemukan kedewasaannya, jika manusia beriman tak mampu mempertanggungjawabkan imannya dalam bahasa rasional. Dengan bahasa yang berbeda sosiolog Auguste Comte menyatakan adanya evolusi pemikiran manusia dari tingkatan faith yang dihayati oleh penganut agama formal, menuju kepada filsafat dan metafisika. Di sini penting disampaikan bahwa dalam penghayatan iman yang dewasa, terjadi peningkatan dari kepercayaan yang asal membeo (ketaatan buta), agamawan menurut hukum, menuju kepada iman yang mengikutsertakan segala bakat dan potensi manusia yang dianugerahkan Tuhan, yakni akal dan rasio.
Hal ini paralel dengan hadits Nabi (diriwayatkan Imam Tirmidzi), yang menyatakan bahwa orang yang berilmu lebih utama ketimbang para ahli ibadah, bagaikan terangnya sinar bulan purnama yang melebihi ribuan bintang di angkasa. []