SAUDARAKU,
ALLAH SWT dan Rasul-Nya memang memerintahkan kepada kita untuk senantiasa memelihara sifat malu dalam diri. Namun, bukan berarti kita menanamkan sifat malu yang menyebabkan kita mengerdilkan diri sendiri.
Saudaraku,
Coba kita tengok kenangan masa kecil, kata malu seperti apakah yang paling membekas dalam ingatan kita? Mungkin di antara kita ada yang menjawab, ‘Jangan malu-maluin jadi orang’ atau ‘malu bertanya sesat di jalan’ bahkan mungkin ‘malu sebagian dari iman’.
Malu secara definisi tidak bisa diartikan sebagai sebuah pengertian. Sebab, malu adalah sifat dan salah satu bentuk emosi manusia. Oleh karena itu, jika melihat penggunaan kata malu di atas maka dimensi malu meliputi banyak hal, di antaranya adalah dimensi psikologis, teologis, filosofis dan sosiologis.
Saudaraku,
Setiap manusia mempunyai sifat malu. Sifat malu itulah yang membuat seseorang bisa dinilai apakah orang tersebut punya etika kesopanan atau tidak; pemberani atau tidak; dan masih banyak lagi kegunaannya.
Misalnya saja, saat masih duduk di bangku sekolah, biasanya seorang guru akan memberikan kesempatan bertanya setelah menjelaskan materi pelajarannya. Sebagai murid biasanya muncul pertanyaan yang ingin diajukan. Tetapi, karena malu kepada teman-teman sekelas, akhirnya murid tersebut tidak jadi bertanya.
Saudaraku,
Menanamkan sifat malu harus memperhatikan situasi tempat, waktu dan lingkungan. Sebab, malu yang tidak pada tempatnya, seperti dikatakan sebelumnya, bisa jadi mengkerdilkan diri sendiri alias minder. Maka dari itu, malu yang benar adalah yang membuat pelakunya menjadi pribadi yang tumbuh dan berkembang. []
Referensi: Tau Gak Sih Islam Itu Sehat?/Karya: Dr. Faza Khilwan Amna, MMR dan Dr. Hendri Okarisman/Penerbit: Aqwamedika