SEPERTI yang sudah kita ketahui, Islam adalah agama yang sempurna dan tidak ada hal kecil pun yang tidak diatur oleh agama ini. Salah satu hal yang diatur dalam agama Islam adalah wanita. Allah menciptakan wanita sesuai dengan fitrahnya, yaitu menjadi perhiasan dunia dengan keshalihannya, dan malu adalah salah satu dari ciri keshalihan tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah no. 4181. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
BACA JUGA: Rasulullah Sangat Pemalu
Sifat malu adalah sifat yang sangat agung dalam Islam. Berikut adalah poin-poin mengapa sifat malu adalah sifat yang sangat agung:
Malu adalah bagian dari iman, dan setiap yang termasuk iman adalah sesuatu yang agung.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.”
Dalam hadits lain disebutkan bahwa iman dan malu tidak bisa dipisahkan. Satu hilang, maka yang lain akan hilang. Jika rasa malu hilang, maka iman akan hilang. Sebaliknya pun jika tidak ada iman, maka tidak akan ada rasa malu.
“Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.” (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 1/73. Al Hakim mengatakan sesuai syarat Bukhari Muslim, begitu pula Adz Dzahabi)
Rasa malu yang merupakan sebagian dari iman, merupakan kunci utama masuk surga.
“Rasa malu adalah bagian dari iman. Dan iman tempatnya di dalam surga.”(HR. At tirmidzi, Al Hakim, Al Baihaqi).
Berdasarkan hadits tersebut dan penjelasan sebelumnya, maka iman tidak akan ada tanpa rasa malu, dan iman adalah kunci utama untuk masuk surga. Maka dapat disimpulkan bahwa rasa malu merupakan kunci utama untuk masuk surga.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.
Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’” (Madârijus Sâlikîn (II/270))
1 Setiap agama mempunyai ajaran-ajaran khas sendiri, dan rasa malu adalah khas dari ajaran agama Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah no. 4181. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Rasa malu dijadikan sebagai salah satu sifat yang dimiliki oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah mempunyai sifat yang tak terhitung dan seluruh sifat Allah itu mulia, agung, dan sangat tinggi. Jika rasa malu merupakan salah satu sifat Allah, maka rasa malu itu merupakan hal yang sangat agung.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Malu dan Maha Dermawan, Dia malu terhadap hambaNya yang mengangkat kedua tangan kepadaNya lalu tangan itu kembali turun hampa (tidak dikabulkan doanya)” (HR. Abu Dawud dinyatakan shahih oleh Al Albani).
BACA JUGA: Manusia Hidup dalam Kebaikan Selama Ia Merasa Malu
2 Siapa masih punya Malu, tanda Dia masih Beriman
Diantara bentuk malu yang pertama adalah malunya seorang hamba kepada Tuhannya. Yang kedua adalah malunya seorang hamba kepada sesama. Yaitu Adapun malu kepada Allah, Rasulullah telah menjelaskan di dalam hadit yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi secara marfu’ bahwa beliau pernah bersabda;
“Malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya”
Para sahabat berkata; “Sungguh kami malu (kepada-Nya) wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda; “Bukan itu, orang yang malu kepada Allah dengan sebenarnya hendaknya menjaga kepala dan yang berada di sekitar kepala; menjaga perut dan apa saja yang masuk ke perut; menjaga kemaluan, dua tangan, dan dua kaki. Dan hendaklah ia mengingat mati dan kehancuran. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, niscaya ia meninggalkan perhiasan hidup di dunia dan lebih mementingkan akhirat dari pada dunia. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka sungguh ia telah malu kepada Allah dengan sebenarnya.”
Dalam hadits diatas Rasulullah telah menjelaskan diantara tanda malu kepada Allah yaitu dengan menjaga anggota badan dari maksiat kepada-Nya, dan juga dengan banyak mengingat mati dan tidak panjang angan-angan terhadap dunia, tidak tenggelam dan memperturutkan syahwat sehingga melalaikan akhirat. Dalam sebuah atsar diakatakan;
“Barangsiapa yang malu kepada Allah, Allah pun malu kepadanya.”
Malunya Allah kepada hamba adalah malu bila hambanya berdoa dan memohon kepada-Nya untuk tidak mengabulkannya, dan malu untuk mengadzab hambanya apabia hamba tersebut berbuat maksiat kepadanya.
Orang yang masih memiliki rasa malu kepada sesama pastinya ia akan menjauhkan diri dari akhlak dan perilaku yang tercela, menjauhkan diri dari berkata kotor, tidak bangga dengan perbuatan maksiat dan sebagainya, malu bila menampakkan aibnya kepada orang lain dan menghindarkan diri dari akhlak yang tercela.
3 Allah mencintai sifat malu dan Allah mencintai orang yang mempunyai rasa malu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Penutup aib, dan mencintai rasa malu dan sikap suka menutup aib.” (HR Abu Dawud dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani).
Hadits ini menjelaskan Allah mencintai rasa malu dan mencintai pula orang yang memiliki rasa malu ini.
4 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Adalah Sosok Pribadi yang Sangat Pemalu
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.” (QS Al-Ahzâb/ 33:53)
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata,
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.” (HR.al-Bukhâri).
Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.” (Fathul Bâri)
BACA JUGA: Muslimah, Masihkah Kamu Miliki Rasa Malu?
5 Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu.
Di dalamnya kaum muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi dengan kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim telah mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala berfirman,
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak kami)…” (QS Al-Qashash/28: 25)
Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari itu.
Adapun wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan akhirat.[31] Nas-alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah.
Setiap suami atau kepala rumah tangga wajib berhati-hati dan wajib menjaga istri dan anak-anak perempuannya agar tidak mengikuti pergaulan dan mode-mode yang merusak dan menghilangkan rasa malu seperti terbukanya aurat, bersolek, berjalan dengan laki-laki yang bukan mahram, ngobrol dengan laki-laki yang bukan mahram, pacaran, dan lain-lain. Para suami dan orang tua wajib mendidik anak-anak perempuan mereka di atas rasa malu karena rasa malu adalah perhiasan kaum wanita. Apabila ia melepaskan rasa malu itu, maka semua keutamaan yang ada padanya pun ikut hilang.
BACA JUGA: Mengenal Khalifah yang Pemalu
Buah dari rasa malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan). Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku ‘iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa‘ (setia/menepati janji).
Begitulah keagungan dari sifat malu. Saudariku, mari hiasi diri kita dengan sifat malu serta senantiasa terus mempelajari ilmu syar’i yang menyebabkan tumbuhnya rasa malu dalam diri kita dan agar kita menjadi wanita yang menghiasi diri dengan sifat malu baik dalam ucapan maupun perbuatan. []