SAYA tak tahu apakah pilihan ibu saya memasukkanku di sebuah perguruan bela diri saat masih duduk di kelas 3 sekolah dasar patut ditiru ibu-ibu yang lain atau tidak.
Yang pasti, belajar beladiri cukup banyak manfaatnya untuk saya, selain Simpai (pelatih) saya adalah orang yang sangat menjunjung kejujuran, rajin puasa Senin Kamis, sholat tepat waktu dan sebagainya. Intinya banyak mengajarkan hal-hal baik. Hingga saat bertanding pun kami diajarkan bersikap hormat pada lawan tanding.
Ketika naik kelas 4, saya sekelas dengan anak laki-laki yang super nakal. Badannya lebih besar dari rata-rata anak kelas 4 umumnya dan umurnya lebih tua di atas kami bersebab dia sudah 2 kali tinggal kelas. Saya lupa nama aslinya. Yang saya ingat dia dipanggil ‘Kojak’ karena ia botak.
Banyak yang tak suka padanya sebab dia gemar ‘mengganggu’ teman-teman sekelasnya juga teman-teman yang tak sekelas. Mulai dari hobi mengangkat rok dan kadang mengintip di balik rok anak-anak perempuan lewat rautan pensil yang bercermin juga sering memukul anak laki-laki.
Kebanyakan reaksi anak-anak perempuan hanya menjerit atau menangis saat si Kojak menjahili mereka. Atau anak laki-laki hanya bisa diam tak membalas saat Kojak memukulnya.
Suatu hari ibu guru tak masuk, oleh guru pengganti kami hanyak disuruh kerjakan soal matematika lalu kami ditinggalkan. Si Kojak mulai beraksi : mengintip di balik rok anak-anak perempuan, kali ini ia langsung ke bawah bangku bukan lagi melalui kaca rautan. Ia berpindah-pindah dari satu bangku ke bangku lainnya.
Saya tau bangku saya akan didatanginya juga, maka saya membuka sepatu saya. Saya ingin memberinya pelajaran yang sangat keras. Hingga saya kala itu ingin memberinya tendangan pamungkas. Jari kaki ditekuk, itu teknik tendangan yang luar biasa menyakitkan.
BUKK! Begitu ia baru mau beraksi, saya memberinya tendangan tepat di hidungnya. Keras. Keras sekali. Saya berdiri dari bangku melihat dari hidungnya mengeluarkan darah. Meski air matanya mengalir ia masih berusaha menyerang saya. Saya tentu saja perlu membela diri. Satu dua pukulan bersarang di perutnya. Ia makin kalap.
Beberapa teman lari kantor kepala sekolah dan melapor. Kepala sekolah datang dan menggiring kami ke kantornya. Baju Kojak yang berlumuran darah membuat kepala sekolah terkejut.
“Ia mau mengintip celana saya dan sudah mengintip celana beberapa teman, Pak,” jawabku tenang saat bapak kepala sekolah bertanya padaku.
Bapak kepala Sekolah memandang Kojak yang tertunduk. Beliau mengobati hidung Kojak lalu memberinya hukuman. Plus sebuah surat panggilan buat orang tuanya.
Itu hari terakhir saya melihat Kojak, dengar-dengar orang tuanya memindahkannya sekolah di kampung mereka.
Saya tiba-tiba teringat kejadian yang sudah lama ini, gegara seorang teman yang bertanya padaku apakah perlu ia memasukkan anaknya olahraga beladiri, setelah melihat maraknya kasus pelecehan dan anak-anak banyak yang diam karena ketakutan.
Well, saya sungguh tak tahu jawabannya. Yang pasti saya menggeluti beladiri hingga menyandang sabuk hitam Dan II karena merasa banyak sekali gunanya. Bukan cuman saat kanak-kanak tapi hingga kini. []