Oleh: Dian Oka Putra
Mahasiswa Doktoral Univ Ibn Khaldun
dokputra@gmail.com
DIRUJUK dari kitab Akhlakul Ulama karya ulama besar Imam Muhammad Bin Hussein Bin Abdullah Al-Ajurri (360 H), bahwa seorang ulama atau cendikiawan tidaklah menjadi aib jika menyampaikan sebuah jawaban tidak tahu kepada yang bertanya ketika pertanyaan tersebut memang tidak diketahuinya jawabannya.hal ini bukanlah menjadi sebuah masalah yang besar dalam kewibawaannya.
Ulama-ulama mazhab juga melakukan hal yang sama dalam menjawab sebuah pertanyaan yang memang tidak mereka pahami.
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Imam Malik pernah ditanya kepadanya oleh seorang yang jauh-jauh ingin menemuinya dengan harapan ingin mendapatkan jawaban yang membuatnya puas justru dalam riwayat seseorang tersebut datang dengan 48 pertanyaan dan Imam Malik menjawab menjawab 32 pertanyaan dengan mengatakan, “Saya tidak tahu.”
BACA JUGA: Ulama Madzhab Syafi’i Kalangan Mutaakhirin, Pendapat Siapa yang Layak Diikuti?
Masih banyak riwayat-riwayat yang membuktikan kethawdhu’an beliau dalam mengambil jawaban. Rasanya sulit dimengerti dengan sikap seorang ulama besar hampir menjawab tidak mengatahui sebagian besar jawaban dari sekian banyak pertanyaan.
Dan selanjutnya dari zaman para sahabat yang memiliki keilmuan yang langsung bersandar kepada Rasulullah ﷺ tak kalah hebat dalam segi ketawadhu’an dalam ilmu.
Kisah ketika Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu orang-orang bertanya kepadanya tentang seorang laki yang meninggal, sedangkan dia baru menikah dan belum berhubungan badan dengan istrinya, dan juga belum menyebut maharnya.
Lalu Ibnu Mas’ud menjawab, “Aku belum pernah ditanya tentang sesuatu sejak aku ditinggal wafat oleh Nabi ﷺ, yang lebih berat dari persoalan ini. Aku tidak pernah mendengarnya dari Nabi ﷺ tentang hal ini sekalipun. Bertanyalah kepada selainku. Apakah kalian mendapati atsar dari selainku?” Mereka menjawab, “Wahai Abu Abdirrahman, kami tidak mendapatkannya sama sekali”.
Sebulan kemudian mereka dalam keadaan bimbang. Kemudan mereka kembali bertanya kepada Ibnu Mas’ud.
Dan beliau pun menjawab, “Aku akan menjawab dengan pendapatku. Jika salah, maka itu dariku dan dari syaithan. Apabila benar, maka itu dari Allah ta’ala”.
Banyak kisah yang bisa dijadikan contoh keteladanan dari para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in serta ulama hebat kontemporer lainnya yang tidak malu menjawab “saya tidak tahu” ketika mereka memang tidak tahu jawaban tersebut.
Karena bagi mereka jawaban, ‘Aku tidak tahu’, bukanlah suatu aib bagi seorang yang berilmu, justeru merupakan sebuah kewibawaan dengan kemuliaan ilmu mereka dan ketinggian adab.
BACA JUGA: Kisah Imam Ahmad dan Seorang Tukang Roti
Apalagi seorang tholibul ilmi yang baru menjadi penuntut ilmu sudah selayaknya merendahkan diri dalam ketawadhu’an jika dihadapkan kepada pertanyaan yang tidak diketahui jawabannya.
Bagi seorang yang berilmu sudah selayaknya memiliki akhlak yang lurus dan tawadhu’ dan seorang yang thalibul ilmi juga sudah menjadi keniscayaan ketika memiliki ilmu yang baik harus atau ‘Aku tidak hafal satu pun atsar tentang hal itu’, dan lain perkataan yang semisal, adalah makna dari perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘ahuma, “Ilmu itu ada tiga, kitab yang berbicara (Al Qur’an), sunnah Nabi SAW, dan perkataan ‘Aku tidak tahu”. Hanya Allah ta’ala yang lebih tahu. []