“AYAH … banyak yang nge-like foto Laila nih,” ujar seorang gadis berusia di ujung belasan tahun itu. Wajahnya nampak begitu sumringah mendapati fotonya diberi puluhan jempol usai di-upload ke facebook setengah jam yang lalu.
Seorang lelaki paruh baya yang dipanggil ‘Ayah’ tadi pun menoleh, “Apa, Nak?”
Laila memamerkan smartphone-nya lalu berujar, “Ini, Yah … banyak yang suka sama foto Laila. Beberapa termasuk Edo juga bilang rambut Laila bagus banget, hitam lurus.”
Tetiba raut wajah pria itu berubah sedih, bahkan nampak nelangsa. Kemudian menutup sebuah buku tentang Islam, yang sejak tadi dibacanya. Menyadari air muka sang ayah yang tiba-tiba berubah, Laila pun mendekat, kemudian duduk persis di sebelah lelaki yang paling dicintainya itu.
“Ayah kenapa?” tanya Laila bingung.
“Nak, kamu sayang sama Ayah gak?” Sang ayah bukannya menjawab, justru balik bertanya.
“Eh, kok Ayah tiba-tiba nanya-nya gitu? Ya pastilah, Laila sayang banget sama Ayah,” jawab Laila mantap, seraya memijat-mijat punggung telapak tangan ayahnya itu.
“Kamu yakin?” Lelaki itu memandang putri bungsunya lekat-lekat.
Laila mengangguk dengan cepat.
“Tapi … kok Ayah ragu yaa?” ujar laki-laki itu sambil memalingkan wajahnya ke arah jendela.
Laila terhenyak, “Loh, ragu kenapa, Yah?”
“Sudah sejak kamu SMA, Ayah memintamu untuk berjilbab. Kamu bilang nanti nanti melulu. Sekarang kamu sudah lulus SMA, sudah kuliah semester tiga. Tapi … belum ada tanda-tanda kamu mau memenuhi permintaan Ayah yang satu itu, Nak.”
Kini gantian, raut wajah Laila yang seketika berubah. Dari sumringah, menjadi kelihatan penuh rasa bersalah. Mulut gadis yang memiliki rambut hitam panjang berkilau seperti model-model sampo itu terkunci rapat.
“Ayah bingung, Nak. Gimana yaa nanti pertanggung jawaban Ayah sama Allah? Kenapa anak perempuan Ayah kok gak nutup aurat? Ayah takut diseret ke neraka, Nak,” lanjut pria berkacamata itu dengan wajah suram.
Kata-kata Ayah laksana petir di siang bolong bagi Laila. Mengejutkan dan menakutkan. Tak hanya itu, tapi gadis itu merasa sesuatu telah berhasil menghujam sanubarinya. Menyisakan nyeri yang sulit diterjemahkan.
“Ta-tapi, Yah. Entah kenapa Laila belum siap untuk berjilbab,” sahut Laila akhirnya.
“Apa yang membuatmu belum siap, Nak? Apa kamu kuatir orang-orang gak bisa melihat rambutmu yang indah itu?”
“Ayah kok ngomongnya gitu?” ujar Laila tak terima.
Sang ayah kembali mengukir senyum di wajahnya yang tak lagi muda.
“Lalu apa? Ketahuilah anakku, kecantikanmu apalagi rambutmu itu hanya boleh dilihat oleh suamimu kelak.”
“Tapi Ayah, Laila kan belum akan menikah.” Laila kembali berkilah.
“Ya sudah terserah kamu saja. Sungguh Ayah ingin kamu melaksanakan perintah Allah itu atas kesadaranmu sendiri. Karena Allah.
Bukan karena paksaan dari Ayah,” kata Ayah menutup percakapan. Lalu mencium kening sang putri sebelum beranjak dari ruang keluarga. Meninggalkan Laila yang terpaku sendirian di atas sofa.
Tiba-tiba smartphone-nya berbunyi suara siulan burung. Sebuah nada notifikasi tanda pesan masuk.
Dari : Vanie
Pukul : 13.15
Assalammu’alaykum Wr.Wb
Innalillahi wa innanilaihi rodji’uun.
Telah berpulang Papa kami di usianya yang ke 45 tahun karena kecelakaan mobil tadi malam. Kami dari pihak keluarga memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu, jika selama hidup, Papa pernah melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak.
Wassalammu’alaykum Wr.Wb.
Tangan Laila gemetar membaca bunyi pesan dari teman akrabnya itu. Om Darma, Papa Vanie meninggal dunia? Ya Allah. Baru kemarin persis, ia bertemu dengan beliau ketika mengantarkan Vanie pulang dari kampus. Beliau nampak sehat dan bugar. Namun, kenyataan berkata lain hari ini.
Sontak ingatan Laila segera tertuju pada sosok ayah yang baru saja selesai meminta sesuatu padanya. Berjilbab. Bukankah itu sebuah permintaan yang amat sederhana dari seseorang yang begitu berharga dalam hidupnya? Sebuah bukti tanda bakti serta cinta dari seorang putri untuk rajanya?
Ayah. Pria lemah lembut namun tegas itu, selama ini tak pernah menuntut atau memaksa Laila untuk begini begitu. Beliau selalu mendukung kegiatan Laila selama itu positif. Misalnya, meski beliau ingin sekali anaknya menjadi dokter, namun ketika Laila justru memilih kuliah di jurusan komunikasi, lelaki itu tak pernah protes.
Bahkan hingga tiba di level menjalankan kewajiban berhijab pun, Ayah hanya mengingatkan, tak pernah memaksa. Laila sadar, ia tulus mencintai sang ayah dan menginginkan segala yang terbaik untuk lelaki nomor satunya itu.
Ah! Bagaimana mungkin selama ini dia mengaku cinta dan sayang pada sang ayah. Sementara untuk menyelamatkan ayahnya dari tarikan api neraka dengan berjilbab saja, ia berat sekali.
Laila mengusap airmatanya. Ini sudah waktunya untuk membahagiakan ayah dengan cara yang pastinya diridhoi Allah. Ya. Laila mantap untuk segera berjilbab.
#
Ia mengetuk pintu kamar kedua orangtuanya. Saat ini di rumah hanya tinggal ia dan sang ayah. Bunda sejak dua jam yang lalu, berangkat pengajian ibu-ibu komplek.
“Ayah! Laila punya kabar bagus nih!” seru Laila dengan ceria.
Tak ada jawaban.
Akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Didapatinya sang ayah tengah tertidur pulas. Ba’da zuhur begini, Ayah memang suka tidur siang.
“Yah!” serunya lagi.
Sang ayah tetap bergeming. Badannya dimiringkan ke kanan.
Laila segera berlari menghampiri. Berlutut di sebelah tempat tidur sang ayah.
“Ayah. Maaf. Bangun dulu dong,” ujar Laila sambil mengguncang-guncangkan tubuh ayahnya.
Tetap tak ada respon. Tiba-tiba Laila panik bukan main. Kenapa ayahnya tak juga bergerak?
“Ayaaaaaahhhh! Banguuunnnn Yahhh! Jangan tinggalin Laila. Laila mau pake jilbab besok, Yah! Ayah bangunnnnnn!” jerit gadis itu ketakutan sambil terus mengguncangkan badan lelaki yang sedang berbaring itu. []