Sayang, apa kabarmu setelah kemarin kujadikan mantan? Merasa sakit hati kemudian berpikir diriku teramat kejam? Jujur saja itu belum seberapa daripada perlakuanmu yang sekian tahun hanya menjanjikan akan segera mempersuntingku di atas pelaminan.
Pekerjaan yang paling membosankan adalah menunggu, apalagi selama proses menunggu itu kita sudah melakukan kegiatan yang melampaui batas kewajaran. Sering mengatur ini dan itu terutama sekali melarangku mengenal lelaki lain karena takut diselingkuhi, melewatkan waktu berdua dalam kemesraan, saling umbar rayuan sebagai pengobat kerinduan seakan-akan hubungan kita telah dihalalkan.
Awalnya diriku merasa bahagia karena perlakuanmu menyiratkan rasa takut kehilangan cintaku. Sampai kemudian tersadar, sekian tahun menjalani hubungan ternyata kisah kasih kita tetap tak mengalami perkembangan selain bertambahnya dosa. Jangan-jangan dirimu mengatur ini dan itu dan melarangku mengenal lelaki lain karena dirimu khawatir kalau diriku menemukan lelaki yang lebih siap menjadikanku istri.
Kalau takut kehilangan cintaku, mengapa tidak segera menikahiku? Sudahlah, daripada melakukan pekerjaan sia-sia dan hanya memasukkan kita pada golongan tukang zina, baiknya kita berpisah saja.
Cobalah dipikir dengan saksama, untuk apa melewatkan waktu berdua dalam kemesraan kemudian saling umbar rayuan sebagai pengobat kerinduan padahal hubungan kita belum dihalalkan dalam ikatan pernikahan? Bukankah itu benar-benar tipu daya Iblis yang menyesatkan?
Dari itu biarlah diriku memberikan penyadaran bahwa apa yang sudah kita lakukan adalah kesalahan besar. Tak ada kata terlambat untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Mari kita sudahi hubungan di antara kita. Namun apabila dirimu tidak berterima silakan datanglah ke rumah untuk melamar. Sudah waktunya menyatukan kisah kasih kita dalam ikatan rumah tangga sebagai penyempurna separuh agama.
Maaf terpaksa kuberi pilihan, mau jadi pendamping di kursi pelaminan atau hanya hadir sebagai tamu undangan? Pilihannya ada ditanganmu, Sayang. Jika memang cinta, tak ada alasan menunda kebahagiaan yang telah lama kita rencanakan, kecuali dirimu menganggap hubungan di antara kita hanya sebuah permainan, maka pantas saja janji-janji manis terujarkan namun miskin pembuktian.
Besar harap, setelah membaca surat ini dirimu mulai berpikir keras bagaimana caranya untuk mempertahanku. Jika tidak, jangan salahkan aku apabila di kemudian hari ada lelaki lain yang mampu membuktikan bahwa kesejatian cinta adalah pernikahan untuk mewujudkan mahligai rumah tangga sakinah, mawaddah, wa rahmah. []