AKU terlahir normal. Sepasang mata, sepasang telinga, sebatang hidung, satu mulut, dua tangan dan dua kaki. Lengkap, selengkap manusia kebanyakan.
Hingga suatu saat aku menaiki kereta, cukup penuh penumpangnya. Cukup penuh, hingga aku tidak kebagian tempat berpegangan, apalagi tempat duduk. Aku berdiri menggantung.
Kereta berjalan pelan, bergoyang goyang, aku sulit untuk berdiri seimbang. Terhuyung kiri dan kanan. Hingga akhirnya kereta bergoyang cukup keras, aku nyaris terjatuh tak seimbang, karena tak ada pegangan. Tapi ternyata, ada tangan seseorang yang meraihku, menahanku dari jatuh. Aku melihatnya, dan berterimakasih padanya.
Ternyata, setelah aku hampir jatuh tadi, hingga saat ini, dia tidak melepaskan tangannya, dia merangkulku sepanjang jalan kereta. Dengan tangan kirinya, dia menjagaku dari jatuh kembali. Aku terjaga, begitu terjaga dengan rangkulannya. Tak khawatir tak seimbang, apalagi jatuh. Hingga akhirnya dia berkata, “Saya turun duluan ya Pak.”
“Oh iya, terima kasih banyak ya”, jawabku.
Dia berlalu dan meninggalkanku keluar dari kereta. Sesaat sebelum dia keluar kereta, aku begitu terkejut. Ternyata dia yang sedari tadi merangkulku dengan tangan kirinya, telah kehilangan tangan kanannya. Dia hanya tinggal memiliki tangan kirinya. Aku tidak melihatnya sedari tadi, karena keadaan yang penuh dan sesak.
Aku hanya terheran-heran, orang lainnya yang bersama denganku, nampak sibuk dengan alat komunikasinya masing masing. Aku terharu, ternyata yang menjagaku sepanjang jalan kereta tadi, adalah orang yang memiliki kekurangan.
Bukan, bukan aku mengharapkan ditolong atau dibantu. Namun di negeri ini, apakah syarat untuk membantu sesama, adalah harus mengalami kehilangan yang serupa, baru merasakan kepedulian yang sama? Apakah harus sama sama menderita, baru mau membantu sesama? []