Oleh: Hanafie Attazikie
DENGAN kecepatan tinggi aku berjalan, dengan harapan bisa berjumpa sebelum berpisah. Harapan itu menggebu meliputi seluruh perasaanku. Asa dalam diri ini berkata, “Aku harus menatapnya, memeluknya dan menciumnya sebelum aku berpisah dengannya.”
Dia yang akan pergi sudah melambaikan tangan, dari jauh aku melihatnya, mata ini berderai, dan kaki terus melangkah bergegas menghampirinya. Kelu lidah ini berucap.
“Tunggu…!”
“Tunggu…!”
Dia menoleh dan menatapku, namun tangannya terus melambai. Langkahku semakin cepat, lisanpun menganga memanggilnya.
“Tunggu aku,” seruku kepadanya.
“Biarkan aku menatapmu walau sejenak, biarkan aku mencium dan memelukmu sebelum engkau pergi.”
Bersyukur. Aku berhasil menghampirinya sebelum ia beranjak pergi. Aku berbisik lembut padanya.
“Ramadhan, Aku merindu setiap hariku adalah engkau,” seraya memeluknya dengan pelukan erat.
“Ramadhan, Aku merindu berpeluk mesra denganmu, dimana setiap nafasku denganmu bernilai agung di sisi-Nya.” Rasanya pelukan ini tak mungkin aku lepas.
“Ramadhan,” lirihku.
“Aku berharap engkau kembali di tahun mendatang, memelukku kembali dalam pengabdian.”
“Ramadhan, bebaskan kami dari pedihnya siksa neraka. Aku tidak mau menjadi orang yang merugi. Aku ingin perjumpaanku dengamu di dunia menjadi sarana untuk bertemu kembali di syurga,” isak tangis berderai tiada henti.
“Ramadhan, berpisah dengan menyisakan tangis dalam qalbu,” ia membiarkanku memeluknya erat dan panjang.
Aku lepas pelukan itu seraya memohon. “Ramadhan, sebelum engkau pergi, aku berharap semua amalanku sampai kepada-Nya, bawalah shalat dan puasa ku pergi bersamamu, jangan kau tinggalkan ia tak berarti di sini. Aku tidak ingin engkau pergi seperti angin. Berhembus untuk selamanya tanpa arti, bersihkanlah aku dari dosa seiring dengan kepergianmu. Atau hembuskan aku menuju syurga-Nya.”
Ia akan pergi, sedang aku masih merindukannya. Aku pegang tangannya erat seraya merintih, “Kenapa engkau tergesa-gesa, aku masih merindumu Ramadhan.”
“Jangan pergi Ramadhan. Aku mencintaimu,” aku merayunya sekuat tenaga.
“Jangan pergi Ramadhan. Bagaimana engkau pergi meninggalkanku sementara kerinduanku kepadamu sangatlah besar.”
Tangannya sudah lagi tidak mampu aku pegang dengan erat. Sejenak kemudian ia akan beranjak meninggalkanku.
Aku berkata kepadanya, “Jika memang kita harus berpisah aku rela. Tapi, bagaimana engkau pergi. Apakah engkau telah membebaskanku dari panasnya api neraka. Atau engkau meninggalkanku dan aku masih berlumur dosa.”
Ramadhan akan pergi dan kita tidak tahu apakah kelak kita akan berjumpa kembali? Masih ada waktu yang paling afdhal sebelum kita berpisah dengan Ramadhan, banyak orang menyibukkan diri dengan hal-hal dunia padahal Ramadhan menanti untuk dihantarkan sebelum pulang, dengan amalan yang lebih banyak dan lebih baik.
Semoga beberapa hari yang tersisa di bulan Ramadhan bisa kita gunakan dengan maksimal. Dan kita berpisah dengan Ramadhan sebagai orang yang beruntung. Tidak merugi seperti tersurat dalam sabda Rasulullah. “Merugi, mereka yang berjumpa dengan Ramadhan, akan tetapi tidak mendapatkan ampunan.”
Semoga pertemuan dan perpisahan kita dengan Ramadhan menjadi sarana terbebas dari siksa neraka. Allahumma Amiin. []