Oleh: Aldy Istanzia Wiguna
“Jalan menuju Masjidil Aqsha adalah ridha Allah Ta’ala. Dan ridha Allah dijemput dengan berjihad di jalan-Nya,” Ismail Haniya, perdana menteri Palestina.
Dalam sajaknya Taufiq Ismail pernah memberi kabar tentang adzan Masjidil Aqsha yang dirindukan siapa saja. Adzan yang bergema dengan begitu menyentuh juga adzan yang syahdu mengikrarkan bahwa alir perjuangan membebaskan Al-Aqsha adalah keniscayaan.
Sebab, pada gerakan-gerakan intifadhah kita pernah bertanya, sampai kapan perjuangan ini akan selesai. Tentu, perjuangan ini akan selesai bilamana Masjidil Aqsha telah dibebaskan dan dikembalikan kepada kaum muslimin untuk bisa beribadah dengan tenang juga khusyuk di dalamnya tanpa ada gangguan apapun dari para pendaku semisal zionis Israel.
Al-Aqsha adalah semembentang karunia sebagaimana Allah firmankan dalam Qur’an Surat Al-Isra ayat pertama. Bahwa keberkahan melingkupi sepanjang perjalanan Isra’ Nabi yang dimulai dari Masjidil Haram sampai Masjidil Aqsha. Sebuah karunia yang tidak akan pernah kita dapati pada daerah-daerah lain semisal negeri kita tercinta, Indonesia.
Karunia yang pada tahun 1948 dirampas oleh tangan-tangan rakus lagi tak beradab seperti orang-orang zionis Israel yang merangsek masuk dan menyatakan kemerdekaan juga berdirinya negara Israel yang sampai hari ini kukuh menyatakan keinginannya untuk melebur dan menghancurkan Masjidil Aqsha lantas membangun di atasnya Kuil Sulaiman atau yang karib kita dengar sebagai Haykal Sulaiman.
Maka, pada semembentang waktu itu, perjuangan demi perjuangan rakyat Palestina tidak pernah mengenal henti. Deras air mata juga alir darah telah banyak tertumpah demi tegaknya izzul Islam wal muslimin juga bebasnya Masjidil Aqsha dari cengkraman orang-orang tak bertanggung jawab juga tak beradab seperti rezim zionis Israel.
Hari ini, kita mendengar rentetan kronologi usaha rezim tak beradab itu untuk menghancurkan Masjidil Aqsha dari berbagai arah. Mulai dari pembangunan-pembangunan pemukiman Yahudi di Yerussalem Timur, pembuatan terowongan-terowongan liar di sekitar Masjidil Aqsha yang sudah mulai merapuhkan sebagian bangunannya sampai pelarangan-pelarangan kegiatan beribadah di dalam Masjidil Aqsha hingga pengecohan-pengecohan lainnya semisal dibangunnya Dome of The Rock untuk mengecoh keberadaan Masjidil Aqsha yang seperti tinggal menunggu ultimatum dihancurkan oleh rezim tak beradab ini.
Lalu, bagaimana sikap kita sebagai sesama muslim menyaksikan rentetan peristiwa tersebut. Tentu, kita harus terus memperjuangkan agar Masjidil Aqsha lekas dibebaskan. Lekas dikembalikan fungsinya sebagai masjid tempat kaum muslimin beribadah juga membangun fondasi peradabannya yang dimulai dari mesjid.
Sebagaimana pengakuan dari UNESCO, lembaga kebudayaan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB yang menyatakan bahwa Masjidil Aqsha adalah tempat beribadah kaum muslimin yang harus dijaga dan diperjuangkan agar keberadaannya tidak diruntuhkan atau dirusak. Karena, Masjidil Aqsha merupakan warisan kaum muslimin untuk dunia.
Maka, mengembalikan Masjidil Aqsha dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina sudah menjadi tugas mutlak setiap elemen bangsa di dunia. Sebagaimana teranggit dalam Mukaddimah Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Maka, mengabarkan, membantu, dan memberikan apa yang terbaik dari kita untuk memperjuangkan Palestina beserta Masjidil Aqsha sudah menjadi tugas utama kita sebagai kaum muslimin, sebagaimana teranggit dalam surat kabar Pandji Islam di tahun 1947 ketika para pendiri bangsa ini mulai memperjuangkan Palestina semenjak proklamasi kemerdekaan didengungkan.
Saat Hadratusysyaikh KH. Hasyim Asy’ari menitahkan kepada warga Nahdliyin untuk melaksanakan Qunut Nazilah dalam rangka mendoakan agar Palestina lekas dibebaskan dan dimerdekakan dari cengkraman zionis Israel yang merebutnya dengan jalan illegal. Lalu, donasi-donasi berlimpahan saat itu. Terhitung sebanyak US$ 18.000 terkumpul dari kaum muslimin Indonesia untuk membantu saudara-saudaranya di Palestina yang sedang ditimpa kemalangan. Lalu, di tahun 1953-1955, hingga puncaknya pada saat persiapan Konferensi Asia Afrika di tahun 1955, Presiden Soekarno menolak dan menentang keras jika Israel dilibatkan dalam konferensi yang bertemakan antikolonialisme tersebut. Dan pada konferensi tersebut pula yang bertempat di Gedung Merdeka, Soekarno menegaskan kembali untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina dan negara-negara lain yang sudah merdeka.
Maka, bila Ismail Haniya menyatakan bahwa jalan menuju Masjidil Aqsha adalah ridha Allah Ta’ala. Dan ridha Allah hanya bisa dijemput dengan jihad di jalan-Nya. Sudah selayaknya kita sebagai kaum muslimin, sebagai saudara yang satu sebagaimana tercatat dalam sabda baginda Nabi turut memperjuangkan kemerdekaan Palestina dalam kerangka jihad. Entah itu jihad harta, jihad mengabarkan keadaan Palestina, atau jihad-jihad lainnya yang kelak turut membersamai dan menegaskan bahwa Palestina tidak pernah sendiri. []
Sumber Bacaan:
Salim A Fillah, Lapis-Lapis Keberkahan, Yogyakarta: Pro-U Media, 2014
Rizki Lesus, Perjuangan Yang Dilupakan, Yogyakarta: Pro-U Media, 2017
Salim A Fillah, Rihlah Dakwah, Yogyakarta: Pro-U Media, 2016