Oleh: Ustaz Harman Tajang, Lc
Dari Abu Hurairah ra, berkata:“Ada seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lalu berkata: ‘Ya Rasulullah, sedekah manakah yang paling besar pahalanya?’ Beliau bersabda: ‘Yaitu jikalau engkau bersedekah, sedangkan engkau itu masih sehat dan sebenarnya engkau kikir merasa sayang mengeluarkan sedekah itu, karena takut menjadi fakir dan engkau amat mengharap-harapkan untuk menjadi kaya. Tetapi janganlah engkau menunda-nunda sehingga apabila nyawamu telah sampai di kerongkongan lalu berkata: ‘Untuk si Fulan itu, yang ini dan untuk si Fulan ini, yang itu, sedangkan orang yang engkau maksudkan itu telah memiliki apa yang hendak kau berikan’”. (Muttafaq ‘alaih)
KATA ”Ya Rasulullah”, merupakan adab karena tidak ada yang memanggil Rasulullah dengan namanya, Allah berfirman:
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
“Janganlah kalian jadikan panggilan Rasul diantara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian (yang lain)”. (QS. An-Nuur: 63).
BACA JUGA: 4 Alasan Sedekah Mampu Hapuskan Galau dan Gelisah
Ini di antara makna ayat:
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu”. (QS. Al-Insyiroh : 04).
Tidaklah disebutkan nama Allah kecuali diikutkan nama Rasulullah baik dalam azan, khutbah, ketika seseorang mengucapkan syahadat dan seterusnya, Allah sendiri dalam Al-Qur’an memanggil Nabinya dengan gelarnya dalam beberapa surah di antaranya:
“Ya Ayyuhal Rasul, Ya Ayyuhan Nabi, Ya Ayyuhal Muzzammil, Ya Ayyuhal Mudatsir dan seterusnya, Allah tidak pernah memanggil Rasulullah dengan: ”Ya Muhammad”, berbeda dengan Nabi yang lain di mana Allah memanggil mereka dengan namanya, Ya Ibrahim, Ya Yahya, Ya isa dan seterusnya nama mereka dipanggil secara langsung
Hadits di atas menunjukkan untuk bersegera mengerjakan kebaikan sebelum kesempatan itu dicabut, dalam hadist ada yang bertanya kepada Rasulullah: ”Sedekah manakah yang paling besar pahalanya?” Namun Beliau tidak menyebutkan jenisnya tetapi menyebutkan sifat orang yang bersedekah bahwasanya yang paling besar pahalanya adalah ketika bersedekah dalam keadaan sehat karena jika seseorang telah sakit dan kematian telah berada di depan matanya maka pandangannya terhadap dunia ini sudah lain atau berbeda.
Contoh lain ketika di rumah sakit ia melihat orang-orang masih berkeluyuran dia sudah menganggap hal tersebut tidak ada nilainya, ketika seseorang dalam kondisi dan keadaan tersebut barulah ia mau bersedekah, oleh karena itu sedekah yang paling besar pahalanya adalah ketika masih sehat, karena ketika seseorang masih sehat ia memiliki kecenderungan tamak terhadap dunia apalagi ditambah sifat kikir
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ath-Taghobun: 16).
شُحَّ lebih tinggi dari pada Al Bukhlu walaupun sama – sama bermakna kikir, perbedaan keduanya Syuh bukan hanya kikir tetapi dia juga tidak senang ketika orang lain mendapatkan nikmat bahkan dia tidak senang melihat orang bersedekah, Allah berfirman:
وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ الشُّحَّ
“Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir”. (QS. An Nisa’: 128) oleh karena itu bersedekah dalam kondisi dan keadaan sehat maka pahalanya sangat besar disisi Allah SWT.
Di antara yang membuat seseorang malas bersedekah karena dia beranggapan “Bagaimana mungkin saya mau bersedekah sedangkan saya memiliki anak yang harus saya biayai kemudian mau buka investasi,” dan seterusnya
Pepatah mengatakan: ”Hemat pangkal kaya,” makanya ia berkata: ”Jangan terlalu banyak bersedekah karena nanti jatuh miskin”, sehingga ia banyak menabung bahkan ia sudah tidak mengeluarkan yang wajib. Okelah Anda tidak mengeluarkan infak, Anda tidak mau bersedekah yang sunnah, walaupun Anda sendiri yang rugi. Semua itu sudah cukup menjadi dalil bahwa Anda adalah bakhil tetapi jika sampai yang wajib juga tidak dikeluarkan atau ia berusaha mengakal-akali seperti sudah tahu Nishab zakat sekian tetapi dia sengaja menguranginya supaya nishobnya tidak cukup maka ini adalah perbuatan yang dilaknat disisi Allah SWT.
Ibnu Abbas berkata: ”Allah tidak bisa ditipu”, seseorang yang memiliki harta yang banyak di mana-mana, dia kemudian mengabaikan hitungan zakat dengan cara membagi harta-harta miliknya kepada orang lain kemudian ia berkata: ”Itulah zakat saya”, hal ini tidak benar karena zakat itu wajib dan ada hitungannya, adapun jika zakat kita lebih maka tidak mengapa tetapi yang dilarang adalah ketika zakat yang kita keluarkan kurang.
Allah tidak meminta banyak dari harta yang kita miliki, yang Allah minta hanya 2.5% dari harta yang dimiliki untuk mensucikan diri dan harta kita, boleh jadi ketika mencari nafkah, mencari rezeki bercampur dengan yang haram, ada yang syubhat dibersihkan dengan zakat.
Allah berfirman: ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”. (QS. At Taubah: 103). Kata shadaqah ketika disebutkan dalam Al-Qur’an tanpa diikutkan dengan kata zakat maka yang dimaksudkan adalah zakat wajib, jadi fungsi zakat adalah untuk mensucikan jiwa dan harta.
BACA JUGA: Sedekah Ala Rasulullah SAW
Inilah mengapa zakat atau sedekah tidak boleh diterima oleh ahlu bait karena itu adalah kotoran bagi mereka karena ini adalah pembersihan dari harta tersebut walaupun halal dan tidak kotor bagi selain mereka, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah SWT.
Dia tidak menangguhkannya sampai dia baru bersedekah, “Apabila nyawamu telah sampai di kerongkongan lalu berkata: ”Untuk si Fulan itu, yang ini dan untuk si Fulan ini, yang itu, sedangkan orang yang engkau maksudkan itu telah memiliki apa yang hendak kau berikan.,“ kenapa tidak dari dulu ia bersedekah apalagi jika sudah meninggal?
Jadikan hadits di atas sebagai gaya hidup kita yaitu berusaha setiap hari bersedekah berapapun, kedermawanan dari yang ada bukan dari banyaknya, oleh karenanya bersedekahlah semoga Allah menjadikannya amalan jariyah di hari kemudian nanti. []
SUMBER: MIM.OR.ID