Oleh: Inayah., Yogyakarta
KEJADIAN ini kualami pada tahun 2005, tepatnya bulan Februari. Saat itu, sebagai mahasiswi di sebuah perguruan tinggi, aku biasa berjualan guna menambah ongkos hidup dan biaya kuliah. Nah, suatu hari aku berjualan bunga pada momen wisuda sarjana dan pasca sarjana di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta.
Ketika selesai berjualan, aku berniat pulan ke kostku. Sambil menunggu bus, aku mencoba berteduh. Lama aku menunggu bus yang ku nanti, aku mencoba menghamburkan pandanganku ke sekeliling. Kala itu, aku melihat ada seorang nenek terlantar yang tengah berteduh di bawah sebuah pohon rindang yang lumayan jauh dari tempat ku berteduh. Ada kira-kira kurang lebih 70 tahun usianya. Beliau memandangiku. Aku pun membalasnya dengan seulas senyum. Lalu, aku menghampirinya dan terjadilah percakapan di antara kami.
Beliau bercerita banyak hal tentang kehidupannya kepadaku sambil bercucuran air matanya. Aku pun begitu. Saat itu yang terbesit dalam benakku adalah bahwa beliau mempunyai kesamaan nasib dengan mamaku tersayang yang juga telah menjadi single perent (orangtua tunggal). Kurasakan nasib baik seakan jauh lebih berpihak kepada mamaku tersayang daripada beliau.
Ketika berniat pulang, kuberikan keuntungan hasil jerih payahku berjualan bunga sebesar Rp 37.000. Menurut perkiraanku, dengan uang sejumlah itu, ia mungkin bisa membeli makanan selama satu minggu. Seminggu kemudia, aku memberikan sebagian gaji kerja part time malamku kepada beliau sebesar Rp 90.000. Sebagai biaya kepulangannya, karena menurutku itulah yang terbaik.
Tiga bulan berlalu sejak kejadian itu, di rumahku diadakan selamatan untuk papaku tercinta. Saat itu, ketika tiba waktu berbelanja, ternyata uang yang dipinjam oleh saudaraku tidak bisa dikembalikan. Padahal dana itulah harapan kami. Maka, kepanikan pun terjadi.
Di tengah suasana kepanikan yang ada, tiba-tiba datang tamu tak diundang dan kami semua tidak mengenalnya. Beliau (tamu tersebut-red) menyampaikan dan memberikan surat yang isinya memberitahukan kami bahwa ayah kami mempunyai harta yang dapat diuangkan dan dapat diambil di bank. Penjelasan yang tak masuk akal nalar kami, dan tak pernah kami sangka sebelumnya.
Antara percaya dan tak percaya, kami bersegera pergi juga ke bank yang dimaksudkan. Ternyata, semua itu benar. Kami memperoleh uang sebesar Rp 680.000. Dan dengan rezeki itu, selamatan yang direncanakan itu pun dapat terlaksana. Kami bersyukur sekali atas rezeki yang tidak disangka-sangka itu.
Dari kejadian itu, aku menarik kesimpulan bahwa uang hasil jerih payahku yang telah kusedekahkan kepada nenek yang kutemui waktu itu telah digantikan Allah SWT untuk keluargaku tercinta. Imbalan nyata yang kami terima di dunia ternyata bisa berlipat-lipat. Terima kasih Ya Allah. []
Sumber: Hidayah edisi 67