“KETIKA sedang mencari hadits,” tutur Imam Abu Hatim, “keadaanku benar-benar memperihatinkan karena tidak mampu membeli sumbu lampu. Pada malam hari terpaksa aku keluar ke tempat ronda yang terletak di mulut gang. Aku belajar dengan menggunakan lampu penerangan yang digunakan oleh tukang ronda. Sebagai kompensasi, terkadang kalau dia tertidur, akulah yang menggantikannya juga.”
Pada kesempatan lain beliau pun bercerita, “Saya tinggal di Bashrah selama delapan bulan pada tahun 241 H. Di dalam hati saya ingin tinggal selama setahun (aga bisa berlajar ilmu lagi), tetapi saya kehabisan nafkah. Maka saya menjual pakaian-pakaian saya sedikit demi sedikit, sampai saya betul-betul tidak memiliki nafkah lagi.”
BACA JUGA: Harta dan Ilmu
Luar biasa bukan?
Imam Abu Hatim mengajari kita arti berjuang sesungguhnya, bahwa dalam keadaan sulit dan tak ada sarana yang menunjang, beliau masih semangat untuk belajar. Tak ada lampu yang menerangi, beliau menghampiri tukang ronda di pos penjagaan. Numpang lampu agar tetap bisa belajar.
Dalam kisah berikutnya beliau menjual pakaian-pakaiannya agar memiliki uang untuk bekal belajarnya. Masyaallah. Karya-karya beliau di antaranya adalah Bayan Khatha’ Muhamad ibnu Ismai’il Al-Bukhari fit Tarikh; ‘Ilalul Hadits; dan banyak lagi.
Perjuangannya, kegigihannya, dan semangatnya luar biasa. Pantaslah bila ilmunya berkah, bermanfaat, dan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Tak sebanding dengan usaha kita hari ini yang ditopang berbagai perlengkapan, teknologi, dan media pembelajaran.
BACA JUGA: Menimba Ilmu
Pernahkah kita mengalami hal serupa?
Entahlah…
Betapa jauh kegigihan beliau dibandingkan kita, eh saya. Yang bila pun pernah duduk di bangku kuliah dan beroleh ijazah, hanya secuil pengetahuan dibandingkan ilmu beliau.
Ijazah dan wisuda ini, bukan menunjukan orang berilmu, melainkan hanya mata pernah kuliah. Lalu atas kebaikan guru, dosen, kami diluluskannya. Yang paling utama karunia Rabb Yang Maha Pengasih dan Penyayang. []