Oleh: Fuadiyatul Luthfiyah
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Ilmu Ushul Fiqh memilki kajian materi yang sangat luas, diantaranya adalah materi terkait Qawaid Fiqhiyyah. Secara bahasa pengertian dari Qawaid Fiqhiyyah adalah dasar-dasar atau pondasi yang berkaitan dengan masalah-masalah dan jenis-jenis hukum (fiqh), sedangkan pengertian Qawaid Fiqhiyyah menurut istilah adalah kaidah-kaidah hukum yang bersifat kulliyah yang diambil dari dalil-dalil kulli atau universal (yaitu ayat dan hadis yang menjadi pokok kaidah-kaidah kulliyah yang dapat disesuaikan dengan berbagai juziyyah).
Menurut sebagian besar para Fuqaha’, Qawaid Fiqhiyyah juga bisa diartikan sebagai segala bentuk aturan yang mengkaji mengenai beberapa bentuk perbuatan para mukallaf (orang-orang yang memeluk agama Islam yang juga sudah dikenai kewajiban untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah). Dan ruang lingkup pembahasan Qawaid Fiqhiyyah adalah perbuatan-perbuatan para mukallaf.
Materi Fiqh apabila dijelaskan secara rinci itu kembali kepada lebih dari ratusan Qawaid Fiqhiyyah, tetapi menurut sebagian Ulama’ yang menjadi dasar atau prinsip umum dari keseluruhan materi fiqh itu hanya ada lima kaidah yang penting untuk diketahui, diantaranya adalah اْلاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا, اَلْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ, اَلْمَشَقَّة تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ, الضَّرَرُ يُزَالُ, اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَة namun artikel kali ini akan membahas salah satu dari lima kaidah diatas, yaitu kaidah:
اْلاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا “Segala sesuatu digantungkan kepada tujuannya”.
Kaidah اْلاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا ini memiliki makna yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia mulai dari perkataan sampai pada tingkah laku manusia tersebut, semuanya digantungkan kepada niatnya orang yang melakukan perbuatan. Karena suatu niat itu sangat penting untuk melihat bagaimana kualitas atau makna perbuatan seseorang. Apakah dia melakukan perbuatan tersebut niatnya semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah atau dia melakukan perbuatan tersebut hanya karena kebiasaan saja.
Misalnya jika ada orang yang singgah di rumah tetangganya, lalu orang tersebut mengobrol dengan tetangganya tersebut. Maka dia akan mendapat pahala ibadah apabila singgahnya di rumah tetangga itu ia niatkan untuk bersilaturrahmi, tetapi jika ia singgah di rumah tetangganya dengan niat untuk menggunjing orang lain maka ia dan tetangganya akan mendapat dosa. Oleh karena itu kita sebaiknya melakukan segala sesuatu dengan niatan yang baik atau dengan niatan untuk beribadah kepada Allah.
Kaidah ini memilki dasar hukum Islam, yaitu sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ “Sesungguhnya sahnya amal adalah digantungkan kepada niat”. Beberapa masalah yang terletak pada niat sudah dijelaskan secara rinci oleh para Fuqaha’ mulai dari Ibadah Mahdlah seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, haji sampai pada Ibadah Ghairu Mahdlah seperti dalam hal muamalah yaitu jual beli, utang piutang, dan lain-lain. Oleh karena itu ada sekitar sepertiga sampai seperempat permasalahan fiqh yang berkaitan dengan niat.
Suatu niat jika dilakukan dalam hal ibadah itu haruslah diletakkan pada awal dilakukannya ibadah tersebut, dan juga tidak diwajibkan untuk mengingatnya sampai pelaksanaan ibadah itu selesai. Seperti misalnya ketika melakukan wudlu, niat pada saat pelaksanaan wudlu itu terletak ketika kita membasuh muka, dan tidak diwajibkan untuk niat ketika membasuh tangan, mengusap sebagian kepala atau membasuh kaki.
Tempatnya niat itu terletak pada hati orang yang melakukan niat dalam suatu ibadah, maka dari itu niat tidaklah cukup apabila hanya dilafadzkan melalui lisan saja tetapi harus disertai dengan niat dalam hati. Dalam hal ibadah, ada niat yang hanya cukup dilantunkan di hati saja yaitu ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah (haqqullah) misalnya shalat, zakat, dan puasa. Ada juga niat yang harus diucapkan dengan lisan yaitu ibadah yang berhubungan dengan manusia (haqquladamiy) misalnya nikah dan thalaq.
Jika terdapat niat yang berbeda antara lisan dan hati, maka yang dianggap adalah niat yang terletak di dalam hati. Misalnya ketika kita sedang melaksanakan shalat isya’, kemudian niat yang kita ucapkan di lisan itu saya berniat untuk shalat maghrib, sedangkan dalam hati kita berniat untuk shalat Isya’, maka yang dianggap sah adalah niat yang ada di dalam hati yaitu niat shalat Isya’. Karena niat yang dianggap adalah ketika kita berniat di dalam hati.
Ada juga syarat-syarat yang harus ada dalam niat, diantaranya adalah seseorang yang berniat itu sudah tamyiz (bukan anak kecil), memeluk agama Islam, mengerti pada apa yang diniati, dan tidak adanya perkara yang menafikan niat. Perkara yang menafikan niat adalah memutuskan niat (memutuskan ibadah), keluar dari agama (murtad), tidak adanya kemantapan (ragu-ragu), dan adanya kemampuan terhadap yang diniati.
Kaidah niat ini memilki beberapa kaidah turunan, salah satunya adalah مَقَاصِدُ اللَّفْظِ عَلىَ نِيَّةِ اللاَّفِظِ “Tujuan sebuah ucapan itu dikembalikan kepada niatnya orang yang mengucapkan”
Contoh dari kaidah turunan diatas adalah, apabila ada seorang suami yang mempunyai istri bernama Tholiq, kemudian pada suatu hari sang suami berkata “Yaa Tholiq”. Jika dengan perkataan tersebut sang suami memilki niat untuk menthalaq istrinya, maka jatuhlah thalaq tersebut. Tetapi apabila sang suami hanya berniat untuk memanggil sang istri, maka thalaqnya tidak jatuh, karena “Tujuan sebuah ucapan itu dikembalikan kepada niatnya orang yang mengucapkan. Wallahu a’lam. []