DI ujung perjuangan selaku mahasiswa Darul ‘Ulum, ia ajak teman-temannya menerapkan ilmu dari para masyaikh. Semacam kuliah kerja dakwah ke kedai-kedai kopi.
Heran dan pesimis awal reaksi temannya. Tapi ia bersikeras. Hingga saban malam ia keliling kedai-kedai kopi di kawasan Thulun. Ternyata para pencinta kopi tidak keberatan. Acap ia diminta terus berceramah soal agama. Segelas kopi dari barista kedai ditolaknya. Sebab tiada waktu buat mencecap pahitnya arabika sana.
* * *
Jalan Ramses pada Sabtu 12 Februari 1949. Senyap hadir tidak seperti malam-malam biasanya. Kedai-kedai kopi tutup. Senyap dalam gelapnya malam. Gelap yang tanpa lalu lalang seorang pun kecuali dua makhluk menanti taksi. Sekira pukul 20.20 senyap terbenam gaduh. Selongsong pistol bermuntahan. Dua orang roboh. Langsung dilarikan ke al-Qashir al-‘Aini, rumah sakit terdekat setempat.
Banyak tangan ingin membantu. Semua dilarang. Waktu bergulir cepat. Malam kian gelap. Segelas kopi diminta lelaki yang roboh oleh tujuh peluru askar raja. Segelas kopi yang menjadi saksi malam akhir dalam hayatnya di arloji 00.22 menit.
Lelaki itu tiada, tetapi namanya masih abadi dalam kata: Hasan al-Banna bin Ahmad Abdurrahman, pengasas harakah al-Ikhwan al-Muslimun. Meski puluhan cerca beterbangan di angkasa; jutaan doa terus bergema. Hingga kini, 69 tahun kemudian.
Karyanya mengabadi di luar kepala. Diamalkan sebagai rapalan doa hingga tirakat menempa jiwa. Tulisannya yang memadu dengan indahnya retorika masih terus dibaca. Walau sering disalahkaprah bahwa ia hanya pintar mencetak kader tinimbang karya tulis, senyatanya ia mahir merupa aksara. Majalah organisasi yang dibentuknya sebagai wujud nyata. Ditempa dari berkarya tulis, hingga kelak dikagumi risalahnya. Risalah dakwah yang sederhana yang tak rumit dimaknai. Tak seperti gurihnya sangrai kopi yang tak lekang dalam narasi mengingat kiprah dakwah Hasan al-Banna. []