PADA masa Daulah Umayah, Abdul Malik bin Marwan mengirimkan pasukan perang ke Yaman dan menetap cukup lama di sana.
Suatu malam saat Damaskus berhias hening, Khalifah Abdul Malik berkata, “Demi Allah, malam ini saya akan menelurusi Kota Damaskus untuk mendengar komentar orang-orang tentang pasukan yang kukirim untuk berperang yang terdiri dari kaum laki-laki, hingga harta mereka menjadi melimpah.”
Ketika sedang berada di sebuah gang, Khalifah Abdul Malik mendengar sebuah gerakan halus yang dilakukan seseorang. Ternyata itu seorang wanita yang sedang melaksanakan shalat.
BACA JUGA: Rintihan Sebatang Kayu yang Merindukan Rasulullah
Dalam sepinya malam wanita itu lirih berkata, “Ya Allah yang telah menjalankan unta-unta yang cantik, menurunkan kitab-kitab, dan menganugerahkan keinginan, aku memohon kepadaMu untuk mengembalikan suami yang saat ini tidak ada di sampingku, sehingga ia menguak hasratku dan aku menjadi senang karenanya. Aku memohon kepadaMu agar Engkau menetapkan keputusan antara diriku dan Abdul Malik bin Marwan yang telah memisahkan kami.”
Terkesiap sang khalifah mendengar namanya disebut wanita itu, terlebih dalam pernyataannya ada kalimat yang membuat hatinya merinding, “Aku memohon kepadaMu agar Engkau menetapkan keputusan antara diriku dan Abdul Malik bin Marwan yang telah memisahkan kami.”
Lalu wanita itu mencurahkan isi hatinya:
Malam ini terasa panjang dengan air mata yang mengalir.
Hatiku terasa kelu dengan derita yang mendera.
Kutahan derita malam ini sambil menghitung bintang.
Cinta membuat hati terasa terpotong-potong.
Jika di sana ada bintang yang menghilang.
Mataku berpendar mencari bintang yang datang.
Sandainya tidak kuingat jalinan antara kami.
Akan kudapatkan hati ini memberontak tak terkendali.
Setiap kekasih tentu mengingat kekasihnya.
Pertemuan setiap hari diharapkannya.
Ya Allah…
Ringankanlah kerinduan yang mendera.
Terpanjat doa moga Engkau mendengarnya.
Kulantunkan sepotong harap setiap masa.
Karena kerinduan menyeruak dalam sukma
Berdesir hati sang khalifah mendengar rintihan ini, nuraninya mengatakan bahwa ini semua tanggungjawabnya. Pelan sang khalifah bertanya pada pengawalnya, “Tahukah engkau ruamah siapa ini?”
“Ya saya tahu, ini rumah Yazid bin Sinan.”
“Siapa wanita yang ada di dalamnya?”
“Istrinya.”
Pelajaran apakah yang bisa kita petik dari kisah ini?
Rasa rindu yang bertalu dalam qalbu, kian hari kian menggebu. Rindu yang tak menemukan muaranya, menjadikan hati teramat sesak menderita. Maka para pemangku kebijakan baik di pemerintahan, perusahaan, atau lembaga yang mempekerjakan para lelaki yang beristri hendaklah memahami kondisi ini. Semoga kebijakan yang digulirkan tak mengganggu keharmonisan keluarga pegawainya.
Jauh sebelumnya, kisah serupa pernah pula terjadi pada masa Umar bin Khathab menjabat sebagai khalifah. Suatu malam beliau keliling Kota Madinah dan menyambangi rumah-rumah penduduk, dari salah satu rumah penduduk terdengar lirih suara seorang wanita:
Malam ini terasa sangat panjang, berselimut dingin dan kegelapan.
Aku tidur sendiri tanpa seorang teman.
Demi Allah, seandainya bukan karena takut padaNya.
Niscaya ranjang itu sudah bergoyang.
Ungkapan wanita ini menusuk hati Umar, apa yang diucapkannya menjadikan Umar gelisah tak tertahan.
BACA JUGA: Kerinduan Para Sahabat terhadap Kota Mekah ketika Hijrah
Lantas Umar menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi?
Ternyata wanita itu adalah istri dari salah seorang tentara yang ditugaskan di luar wilayah untuk beberapa lama. Umar mendatangi putrinya, Hafshah, untuk mengonsultasikan hal ini. Umar bertanya, “Berapa lama seorang wanita dapat bertahan ditinggal suaminya?”
“Empat bulan,” jawab Hafshah.
Setelah kejadian ini Umar mendapat gambaran bahwa seorang wanita paling lama bertahan berpisah dengan suaminya selama empat bulan, maka beliau membuat kebijakan bahwa para lelaki yang menjadi tentara dan bertugas di luar wilayah tidak boleh lebih dari empat bulan. Ia harus pulang untuk menemui istrinya. Tentu kebijakan ini mendapat sambutan baik, terutama para keluarga muda yang cintanya masih menggelora. Walllahu’alam. []